23. Berdetak Lebih Cepat

102 7 0
                                    

Boleh jadi kesenangan yang kamu rasakan hanya menjadi pembuka, sebelum kenyataan pahit menyapamu

🕊🕊🕊

"Lo kenapa lagi sih La?"

Alya datang dengan bola basket yang berada di tangannya. Duduk tepat di sebelahku dan melemparkan bola basket itu kepada Marko yang baru saja sampai.

"Jadi beneran nih lo nantangin gue?"

Aku tersenyum remeh pada Marko. Bisa-bisanya dia berkata demikian. Perkataannya berhasil membuatku marah.

"Lo yang jadi wasit Al, gue bakalan ngalahin nih cowok lemah." Ujarku dengan merebut bola yang sedang dimainkan oleh Marko.

"Kalau kalah, gue nggak mau lihat lo nangis." Ujarnya meremehkanku.

"Hei, berani banget lo ngomong gitu ke ratu basket. Lo bakalan nyesel udah ngeluarin kata-kata itu."

Permainan segera dimulai. Aku menguasai bola. Memainkannya dengan gesit. Berusaha mengecoh Marko yang tak bisa kuanggap remeh. Sedangkan Alya menjadi pengamat di samping lapangan. Menghitung skor yang kami dapatkan.

"Gue bakalan ngalahin lo Marko." Ujarku ketika berhasil memasukkan bola ke dalam ring.

"Baru awal La, jangan sombong dulu. Bahkan skor bisa berubah di akhir waktu tanpa lo sadari." Ujar Marko menyeringai kearahku.

Ok pertandingan ini menjadi sangat serius sekali. Aku yang sudah terbawa emosi sejak pagi, semakin di buat emosi oleh tingkah sombong Marko.

Kita benar-benar balapan skor. Dan sepertinya Marko juga sudah terbawa emosi. Permainan menjadi lebih menegangkan. Tak ada yang mau dikalahkan. Tentu saja, aku tak akan membiarkan Marko mengalahkanku.

"Mau sampai kapan La?" Ujar Marko di sela-sela permainannya.

"Sampai gue bener-bener ngalahin lo."

"Ok, lo menang. Traktir bakso kan?" Ujar Marko menghentikan permainannya.

"Gue nggak mau lo ngalah. Gue mau menang karena gue emang berhasil ngalahin lo." Ujarku tajam seraya merebut bola yang berada di tangannya.

"Udah lah La, ini juga udah sore. Lo nggak capek apa?" Tegur Alya yang menghampiriku dan menyodorkan minuman.

Nafasku dan Marko memburu tidak teratur. Sementara permainan kami belum juga berakhir.

"Berapa skor Al?" Tanyaku dengan napas memburu.

"46-46."

"Ok satu skor lagi. Menang atau kalah kita tetep makan bakso." Putus Marko pada akhirnya.

"Ok."

Kami kembali bermain dengan tingkat fokus yang tinggi. Aku tak mau sampai kecolongan di detik-detik terakhir. Benar kata Marko, apapun bisa terjadi tanpa kita sadari. Lengah sedikit saja, aku akan kalah.

"47, lo kalah." Ujarku saat berhasil memasukkan bola terakhir.

"Fine. Lo menang dan ayo kita pergi ke Pak Roso. Gue bener-bener udah laper."

ASHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang