42. Kembali Hangat

102 8 0
                                    

Ketika amarah menguasaimu, menjauhlan terlebih dahulu. Redamkan amarahmu. Jangan sampai amarahmu menghancurkan hati orang lain

🕊🕊🕊

Suasana di rumah ramai sejak kemarin. Banyak yang datang silih berganti. Mulai dari kerabat, tetangga, dan teman-teman dari Kak Tian maupun Mbak Rahma. Apalagi kalau bukan untuk menengok keponakanku yang tampan.

Lima hari yang lalu, selesai subuh Mbak Rahma dilarikan ke rumah sakit karena merasakan kontraksi. Hingga berjam-jam aku dan Kak Tian terus menunggu, namun hingga pukul empat sore bukaan tak juga bertambah. Berhenti di bukaan tiga. Kak Tian cemas, wajahnya pucat. Tidak tahu harus berbuat apa disaat orang yang dicintainya merasakan sakit.

Hingga malam datang tak ada kemajuan hingga mengharuskan Mbak Rahma di operasi. Awalnya Mbak Rahma sempat menolak karena takut. Akan tetapi tidak ada jalan lain. Akhirnya malam itu juga operasi dijalankan.

Saat itu aku bisa menyaksikan betapa cemas dan khawatir dirasakan oleh Kak Tian. Laki-laki yang selama ini selalu tegar terlihat begitu kacau. Meskipun jika dilihat dari penampilan dan raut wajah terlihat biasa saja dan datar. Tapi bibir Kak Tian tak henti memanjatkan doa dan zikir.

Dan semua terbayar saat mendengar suara putranya kenangis kencang. Ucapan syukur tak henti dari bibir Kak Tian. Aku memeluknya erat. Menangis di bahunya dan mengucapkan kata selamat.

"Dek, minta tolong beliin bakso di depan bisa? Ada tamu, kasian dari Lamongan." Ujar Mbak Rahma menghampiriku yang duduk di depan televisi.

"Siapa?" Tanyaku penasaran.

"Keluarga Embak." Jawab Mbak Rahma singkat.

Aku segera bangkit dan keluar lewat pintu belakang. Kulihat satu mobil penter terparkir rapi di pinggir jalan.

Sebenarnya sangat malas harus kelur rumah di jam-jam teriknya matahari. Tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin kalau Mbak Rahma yang harus pergi sendiri untuk membelinya. Tidak mungkin juga bila aku meminta Ibunya Mbak Rahma untuk membeli.

"Cewek, sendirian aja." Goda laki-laki yang duduk di belakangku. Aku mencoba diam dan tetap memainkan ponselku. Bahkan sama sekali acuh dengan ucapannya.

"Sombong bener lo." Ujarnya lagi. Dan kali ini berhasil membuatku menoleh karena mengenali suara itu.

"Marko, ngapain lo di sini. Gue kira siapa." Ujarku kaget dengan meninju bahunya. Tidak terlalu keras, tapi cukup mampu membuat Marko meringis.

"Makan lah, bego banget lo. Jelas-jelas gue lagi ada di warung bakso." Ujar Marko sewot.

"Kok gue enggak lihat lo."

"Lah lo nunduk terus. Nyari koin jatuh?" Ejeknya membuatku sekali lagi memukul bahunya.

"Jauh amat lo beli bakso sampe sini, mampir yok." Ajakku.

"Tadi kebetulan lewat sih, pas mau mampir ada banyak orang di rumah lo. Padahal pengennya numpang makan gitu. Yaudah berakhir di sini deh gue." Terangnya yang membuatku sekali lagi meninju bahunya.

"Iya lagi ada tamu. Rumah gue emang rame terus sekarang." Jelasku.

Terkadang saking banyaknya orang yang berkunjung, aku memilih kabur dan memilih berdiam diri di rumah Putri, tetanggaku. Sebenarnya bukan karena apa-apa. Hanya malas bila banyak yang bertanya tentang pendidikanku, pekerjaanku atau bahkan statusku. Itu semua membuatku merasa risih.

"Gue balik dulu ya, udah jadi tuh pesenan bakso gue." Pamitku pada Marko.

"Sibuk banget ya lo, gue pengen jalan nih tapi enggak ada temen." Ujarnya menghentikan langkahku.

ASHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang