Mendengar cerita Alya, membuatku sedikit bersyukur akan kisah hidupku. Nyatanya bukan takdir Allah yang kejam padaku, namun kurangnya rasa syukur yang membuatku terbelenggu dalam kesedihan.
Dipikir-pikir hidupku tidak buruk. Sandang dan pangan terpenuhi, pendidikan terlaksana, dan untuk materi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Egois sekali karena aku terus menyalahkan cerita hidupku yang tak seindah orang lain. Karena nyatanya mereka yang tertawa, sebenarnya menyimpan tangis. Mereka yang terlihat tegar, memiliki sisi rapuh juga.
Mulai sekarang sepertinya aku harus belajar untuk fokus memperbaiki diri. Mengesampingkan ego, perasaan yang melenakan dan rasa iri saat melihat kehidupan orang lain. Aku harus meyakinkan diri, bahwa ceritaku tidak kalah indah dengan mereka yang selalu terlihat bahagia.
Samar-samar aku mendengar suara Mbak Rahma yang sedang berbicara dengan Kak Tian. Ini sudah hampir jam sebelas malam, tadi aku pulang sedikit terlambat hampir jam setengah sepuluh malam. Untungnya, tidak mendapat sidang panjang dari ketiga kakakku.
Bukan hanya sekali dua kali mereka bercengkrama di larut malam seperti ini. Apalagi semenjak ada Rafa, bayi itu mulai bangun saat seharusnya waktu tidur Umi dan Abinya datang. Begadang sudah menjadi makanan bagi Kak Tian dan Mbak Rahma. Namun kali ini telingaku menangkap suara yang berbeda. Bukan nyanyian atau murojaah yang keluar dari mulut mereka. Tapi, ada nama Kak Aisyah yang banyak di sebut.
Bukan ingin menguping, hanya ingin tahu pembahasan yang sedang di perbincangkan. Yah intinya memang tetap sama, KEPO. Sayup-sayup aku mendengar Kak Tian mengatakan masih belum bisa melepaskan Kak Aisyah untuk laki-laki lain.
"Aisyah sudah besar, dia berhak menentukan kehidupannya. Sebagai Kakak kita hanya bisa memberikan support selama itu adalah hal yang baik."
Niat hati ingin lebih menghargai kisah hidupku, malah mendengar pembicaraan terkait lamaran dan Kak Aisyah. Rasanya sakit hati yang mulai mereda kembali terasa begitu menyakitkan. Salahku sendiri yang selalu ingin tahu.
Over thinking ku mulai lagi saat mengingat tentang mereka. Banyak pertanyaan yang bermunculan di benakku. Bagaimana aku bisa menghadapi mereka? Bagaimana kalau aku terpuruk hanya karena cinta?
Tiba-tiba telingaku mendengar sesuatu yang ganjil. Yang berhasil membuatku semakin mendekati pintu untuk mendengarkan lebih jelas.
"Tidak ada alasan untuk menolak lamaran Faisal, dia laki-laki Sholih yang insyaAllah mampu menuntun Aisyah untuk meraih Ridho Allah."
Mendengar Mbak Rahma menyebut nama laki-laki lain, membuatku bertanya-tanya. Faisal? Siapa dia? Bukankan laki-laki yang datang melamar Kak Aisyah Adalah Avan?
Berbagai kemungkinan berputar di otakku. Jika laki-laki itu memang bukan Avan, jujur saja aku merasa senang. Setidaknya meskipun kami tidak berjodoh, aku tidak akan sering melihat wajahnya sebagai Kakak ipar ku. Akan sangat aneh bila hal itu terjadi, dia yang dulu menjadi kekasihku tiba-tiba menjadi Iparku. Aku tidak akan bisa hidup tenang bila hal itu terjadi.
Paginya, aku ikut Kak Tian mencari sarapan. Tiba di warung nasi pecel, aku dan Kak Tian harus mengantri. Ada 3 pembeli yang menunggu untuk dibungkus kan nasi. Setelah memesan empat bungkus nasi pecel, aku menghampiri Kak Tian yang duduk di atas motor di bawah pohon karsen tak jauh dari warung itu.
Mulutku sudah gatal ingin menanyakan perihal lamaran Kak Aisyah, namun aku tidak berani untuk bertanya. Dan syukurnya Kak Tian sendiri yang memulai pembicaraan itu.
"Besok kamu ke kampus jam berapa?" Tanya Kak Tian padaku.
"Seperti biasa, jam delapan."
"Mau ikut nganterin Aisyah ke stasiun nggak habis subuh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ASHILA
Acak"Kita selesai baik-baik. Maaf kalau aku menorehkan luka pada hatimu. Tapi percaya, aku tak pernah main-main. Kelak bila kita berjodoh, apapun rintangannya kita akan tetap bersatu." "Pergilah, aku ikhlas. Temukan dirimu yang sesungguhnya. Bila meman...