15. Benar-Benar Pergi

140 8 0
                                    

"Kasih sayang tak akan pernah hilang meskipun jarak sejauh apapun telah memisahkan"

🕊🕊🕊

Pandanganku mengarah pada koridor rumah sakit yang terlihat sepi. Jam menunjukkan pukul setengah 7 malam, dan aku masih duduk di luar ruangan tempat ayah dirawat.

Rasanya mataku sudah perih dan kehabisan air mata. Menangisi keadaan ayah yang jauh dari kata baik.

Selesai maghrib berjamaah di mushola tadi, ayah sempat sadar. Aku menemaninya hingga kak Tian kembali dari mushola. Setelahnya, aku kembali menunggu di kursi luar ruangan.

Aku tak punya keberanian untuk masuk lagi kedalam dan menemui ayah. Karena aku tak mau ayah melihatku menangisinya. Aku sudah berjanji untuk tidak menangis dihadapanya. Ayah bilang, ketika air mata putrinya jatuh, maka hatinya pun ikut hancur. Dan aku tak mau membuat ayah hancur hanya karena melihat aku menangis.

Pintu ruangan ayah terbuka, menampilkan wajah kak Tian yang sangat kacau. Mata sembab, rambut acak-acakan dan wajah tertekuk tanpa ada senyum yang biasa di berikan kepadaku.

Kak Tian duduk disampingku tanpa mengatakan sepatah katapun. Menunduk dalam dan menutup wajahnya dengan kedua tanganya.

Tak lama suara langkah kaki yang begitu tergesa mendekat kearah kami. Kualihkan pandanganku untuk melihat siapa yang datang.

"Mana ayah?" Tanya seorang perempuan dengan uraian air mata yang membasahi wajah cantiknya.

"Di dalam" jawab kak Tian singkat.

Dengan segera perempuan itu masuk kedalam ruangan ayah bersama kak Tian.

Aku hanya menunduk diam tanpa berani melihat kearah wanita paruh baya yang menemani perempuan tadi.

"Dasar anak pembawa sial." Ucapya tajam sebelum ikut masuk kedalam.

Aku kembali menangis tergugu seorang diri. Tanpa ada tempat untuk mengadu dan bersandar.

Perempuan tadi adalah kakakku. Kak Aisyah namanya. Dan wanita yang mengantarnya adalah bude Ranti.

Mugkin memang benar, aku adalah anak pembawa sial yang tak berguna. Sehingga tak ada siapapun yang menganggapku ada.

Lalu jika benar iya? Mengapa Allah menciptakanku untuk hidup di dunia ini? Bahkan jika diberi pilihan, aku lebih baik tidak ada di dunia ini hingga harus menyakiti banyak hati.

Lamunanku buyar ketika aku mendengar jeritan histeris dari kak Aisyah. Segera aku melihat dibalik kaca yang ada pada pintu ruang rawat ayah.

Kak Ais menjerit dalam dekapan kak Tian, ketika ayah kembali menutup rapat matanya.

Perlahan tanganku memutar handle pintu dan ikut masuk, memastikan apa yang terjadi. Sebisa mungkin kutekan air mata yang hendak luruh.

Saat ini tak ada penopang yang kupunya, hingga aku harus benar-benar kuat melawan rasa kalutku.

"Ayah" panggilku lirih, menahan suara agar tak terdengar bergetar.

Perlahan ayah membuka matanya, melihat satu-persatu putra-putrinya. Tersenyum lembut kearah kami dan kemudian, suara mesin pendeteksi jantung yang tak pernah ingin di dengar siapapun mulai berbunyi dengan nyaringnya.

Kak Ais meronta-ronta dalam pelukan kak Tian. Dan kemudian, tubuhku terasa sangat ringan, sesaat setelahnya hanya kegelapan yang mampu aku lihat.

🕊🕊🕊

Entah berapa lama aku memejamkan mataku. Dan hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah aku sudah berada dalam kamarku.

Suara tangis memenuhi indera pendengaranku, hingga membuatku melangkah keluar dari kamar. Pandanganku langsung terfokus pada kain jarik yang digunakan untuk menutup tubuh seseorang.

ASHILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang