Bunyi tirai terbuka berhasil mengusik sosok gadis yang masih terlelap di bawah selimut tebal. Sinar matahari merambat masuk melalui jendela yang terbuka. Membuat kelopak mata gadis itu mengerjap karena cahayanya.
Begitu membuka mata, Habin langsung terlonjak saat pemandangan tak biasa menyambutnya. Matanya berkeliling, meneliti ruangan dengan nuansa abu-abu itu. Tampak tidak asing. Sepertinya ia pernah ke sini.
"Sudah bangun?"
Habin tersentak. Perhatiannya beralih ke samping. Tambah terkejut mengetahui laki-laki yang sangat ditakutinya berada dalam satu kamar. Pantas terasa familiar. Habin tidak menyangka ia bisa menginjakkan kakinya di tempat ini lagi.
"Kenapa aku bisa ada di sini?" Tanya Habin panik.
Bukannya menjawab, Jimin justru mendekati Habin. Sedangkan, gadis itu beringsut takut tatkala tangan Jimin bergerak menyentuh dahinya.
"Tidak terlalu panas seperti semalam." Ujar Jimin seraya menjauhkan lagi telapak tangannya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa aku bisa di sini?" Habin mengulang pertanyaan.
"Kau pingsan."
Habin ingat sekarang. Kemarin, tubuh lemahnya dihantam dua masalah yang langsung membuatnya tumbang.
"Kalau begitu, terima kasih sudah menolongku. Sekarang aku harus pergi." Katanya sembari turun dari ranjang.
"Pergi ke mana yang kau maksud?"
Suara Jimin berhasil menghentikan langkah Habin. Gadis itu terdiam sejenak, lantas membalikkan badannya lagi menghadap Jimin.
"Pergi ke mana saja yang aku bisa. Meskipun di dunia ini sudah tidak ada lagi orang yang berpihak padaku."
Jimin menaikkan sedikit satu sudut bibirnya. Dengan tangan yang terlipat di dada, ia berjalan perlahan mendekati gadis itu. Terlihat angkuh.
"Kalau begitu ... aku ikut denganmu." Celetuknya.
Habin mendelik heran.
"Sudah kubilang 'kan, kau punya aku." Lanjutnya lagi.
Habin enggan menatap pria itu. "Aku tidak ingin tinggal bersama seseorang yang sudah membuat hidupku hancur." Jawabnya sendu.
Namun, tanpa persetujuan Jimin menarik tangan Habin dan membawanya paksa. Memasukannya ke dalam mobil, walaupun gadis itu melakukan perlawanan. Jimin menulikan telinganya.
"Ahjussi, kau mau membawaku ke mana?" Tanya Habin panik.
Jimin mengabaikan pertanyaan gadis itu.
"Hentikan mobilnya! Aku ingin turun. Aku mohon. Hiks," Habin menangis kencang. Berteriak histeris sembari menggoyang-goyangkan tangan lelaki tak berperasaan itu.
"Bisakah kau diam?!" Tanya Jimin sedikit membentak.
Seketika Habin terdiam. Air matanya jatuh makin deras, namun kali ini tanpa suara. Hatinya sakit saat Jimin memarahinya.
Jimin sebenarnya frustrasi pada Habin yang tak kunjung percaya. Ia berniat baik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi, sepertinya ia harus sadar jika gadis itu sangat membencinya. Sehingga tak ada cara lain lagi, selain 'memaksa'.
Meskipun tak ada cinta diantara mereka. Yang terpenting sekarang adalah darah dagingnya harus terselamatkan lebih dulu.
.
.
.Saking lamanya perjalanan, Habin yang awalnya ketakutan pada Jimin tidak sadar tertidur. Terbangun saat merasakan tepukkan pelan di pipinya. Membuka matanya perlahan. Entah berada di mana, yang Habin lihat ke luar jendela mobil adalah sebuah rumah bergaya khas Korea. Tentunya ini bukan di Seoul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby From A Little Wife [END]
FanfictionBalas dendam mungkin cara terbaik untuk menghilangkan rasa sakit dihatinya. Namun, Jimin terlalu melibatkan emosi, hingga berakhir dengan penyesalan dan rasa bersalah. Start : 30-Desember-2020 Finish : 25-Desember-2021 WALAUPUN CERITA INI UDAH TAMAT...