20. Habin Cemburu

3K 350 22
                                    

Jimin tidak bisa untuk menolak permintaan Jira kala wanita itu memintanya untuk diantar ke rumah sakit, memeriksakan kandungannya. Wanita itu takut kekerasaan yang dilakukan suaminya berdampak pada janinnya.

Sampai Jimin mengingat kalau dirinya mempunyai janji dengan sang istri yang juga ingin memeriksakan kandungannya. Mungkin ... Lain kali saja. Habin pasti mengerti.

Waktu bekerja selesai bagi seluruh karyawan. Termasuk Jimin, ia langsung bergegas bersama Jira menuju rumah sakit.

Bersyukur janinnya baik-baik saja. Jimin tersenyum senang akan hal itu. Mungkin akan lebih membahagiakan lagi kalau berita ini datang dari bayinya sendiri.

Jimin dan Jira keluar dari ruangan Dokter dengan raut bahagia di wajah mereka.

"Ahjussi ..."

Mendengar suara lirih yang tak asing bersamaan dengan netranya bertemu dengan sepasang mata perempuan yang berdiri tak jauh di depannya.

Raut wajah Jimin berubah pasi tatkala mendapati sang istri yang entah bagaimana bisa berada di tempat yang sama dengannya.

"Habin ..." Ucap Jimin nyaris tanpa suara.

Jimin merasa telah tertangkap basah tengah berselingkuh. Padahal, itu bukan kebenarannya. Jangan sampai Habin salah paham dengan semua ini.

"Kau mengenal wanita itu?" Jira menoleh pada Jimin tanpa melepaskan gandengan tangannya pada lengan pria itu.

Menyakitkan rasanya saat Jimin menemukan sepercik kesedihan lewat mata sendu istri kecilnya. Buru-buru, Jimin menjauhkan diri dari Seo Jira.

Jimin panik begitu Habin langsung pergi begitu saja meninggalkannya tanpa bicara apapun. Bahkan, sebelum dirinya menjelaskan.

"Habin! Jung Habin!" Teriaknya panik.

Jimin berniat mengejar sang istri, namun Jira malah menahannya dan itu membuatnya kesal.

"Jimin, kau mau kemana?" Ujar Jira marah.

"Aku harus pergi. Ini, pesanlah taksi. Maaf aku tidak bisa mengantarmu."

Jimin segera berlari secepat yang kakinya bisa. Percaya atau tidak, ia mengkhawatirkan perasaan istrinya.

.
.
.

Habin berjalan pelan menyusuri trotoar jalan. Tangannya sesekali mengusap pipi yang telah banjir air mata. Tak kuat membayangkan kebusukkan Park Jimin yang bukan hanya berbohong, tetapi juga mengkhianatinya.

Habin tahu mereka tidak saling mencintai. Tetapi, kenapa ia merasa tak terima saat Jimin bersama wanita lain. Terlebih, hatinya telah lebih dulu diretakkan pria itu.

Jimin menyanggupi untuk mengantarnya memeriksakan kandungan, seharusnya laki-laki itu memberinya kabar jika tak bisa menepati janjinya. Jika begitu, mungkin keburukkannya tak akan Habin ketahui sekarang.

Entah siapa wanita tadi, atau mungkin itu adalah mantan kekasihnya?

"Habin, tunggu!"

Tahu-tahu Jimin datang, menarik tangannya dengan napas yang masih tersengal akibat berlari.

"Aku bisa jelaskanㅡ"

Habin menyingkirkan lagi tangan pria itu.

Jimin memandangnya sendu. Sorot matanya dipenuhi rasa bersalah.

"Ahjussi, tidak perlu menjelaskan apa-apa. Aku tahu pernikahan kita hanya sementara. Aku tahu kau terpaksa menikahiku. Aku juga tahu kau tidak mencintaiku. Tapi, tolong ... Aku tetap punya perasaan yang jika dilukai merasakan sakitㅡ"

"Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Jira sakit, dan aku tidak bisa membiarkannya sendiri saat dia dalam kondisi tidak baik-baik saja." Jimin menyela supaya Habin mengerti.

Bukannya mengerti, Habin malah semakin tersakiti. "Aku tahu. Lagipula, aku tak sepenting wanita itu 'kan?" Apa Habin terlalu menunjukkan rasa cemburunya?

Mereka terdiam beberapa saat.

"Kau cemburu?" Tanya Jimin.

"Aku tidak punya hak untuk cemburu. Kalau begitu ... aku pulang dulu."

"Kita pulang bersama." Jimin meraih tangan Habin. Menyuruh istrinya untuk memasuki mobil.

"Tidak, ahjussi. Bukan pulang ke rumah ahjussi, tapi ke rumah ibuku."

"Memangnya dia akan menerimamu lagi, hah?"

Habin memalingkan wajahnya ke samping. Tak menjawab pertanyaan Jimin.

"Maafkan aku. Ayo pulang!"

Jimin menuntun Habin untuk di bawa ke mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat itu.

Habin asik memperhatikan pemandangan luar jendela yang indah dihiasi lampu-lampu jalanan. Jimin tanpa sengaja melihat selembar foto usg kandungan yang dipegang istrinya itu.

"Bagaimana keadaan bayi kita?" Tanya Jimin.

Sontak membuat Habin mengangkat kepalanya dan melirik sekilas sang suami sekilas. Lalu, pandangan Habin jatuh pada selembar foto di tangannya.

"Anakku sehat." Jawabnya singkat.

"Anakmu? Dia anakku juga." Ralat Jimin.

Kata yang Habin harapkan sejak dulu akhirnya terucap juga oleh bibir tebal suaminya. Tapi, sayang, sekarang rasanya sudah berbeda.

"Ini pertama kalinya aku mendengar Ahjussi mengakui anakku."

Heok. Tenggorokkan Jimin serasa tercekat mendengarnya. Apa sampai begitunya ia tidak peduli pada mereka? Astaga. Sekarang Jimin menyesal sudah membuat gadis ini kecewa. Istrinya sendiri sedang berjuang hamil, tapi ia malah memperhatikan istri orang lain.

Jimin menghentikan mobilnya di tepi jalan.

"Kenapa berhenti?" Tanya Habin kebingungan.

Bukannya menjawab, Jimin malah membuka sabuk pengamannya. Lantas membuat tubuhnya agar lebih dekat dengan sang istri.

"Ahjussi, mau apa?" Habin berubah panik.

"Maaf karena membuatmu marah. Aku dan Jira tidak punya hubungan apapun lagi. Jangan salah paham!"

Habin menatap lekat manik Jimin.

"Maafkan aku juga karena terlalu mengabaikan kalian." Tangan Jimin berpindah ke perut Habin, mengelusnya di sana.

Detik berikutnya, Habin dibuat tak bisa bernapas tatkala Jimin dengan tanpa di duga mencium perutnya.

Jimin mengangkat kepalanya. Telapak tangan besarnya menangkup wajah sang istri yang masih tercenung. Perlahan mempersempit jarak, sampai hidung mereka saling bersinggungan. Entah kenapa jantung Habin selalu berdebar kencang setiap kali Jimin akan menciumnya.

Jimin selalu berhasil membuat Habin mabuk karena ciumannya. Ayah dari calon anaknya itu terus memberikan lumatan lembut sambil memejamkan mata.

.
.
.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Baby From A Little Wife [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang