30. Desicion

2.9K 314 24
                                    

Jimin harus menelan kekecewaannya setelah gagal mencari sang istri yang mendadak menghilang. Bahkan sampai pukul sebelas malam pun ia masih mencari. Tetap tak ditemukan jejak apapun.

Pikirannya benar-benar kacau. Melayang pada hal-hal buruk. Takut jika Habin diganggu lelaki hidung belang, atau apapun itu, Jimin tidak ingin membayangkannya lagi.

Ini memang salahnya. Tidak-tidak. Ini semua salah Seo Jira. Andai saja, ia tak mendatangi wanita itu pasti saat ini Habin masih ada disisinya. Kenapa? Kenapa Jimin tak bisa mengesampingkan wanita yang sudah jelas telah mengkhianatinya itu?

Habin adalah istrinya. Sampai hati dia menelantarkan istri serta anaknya ditengah malam sendirian.

Jimin merasa lelah. Setelah satu Seoul dia kelilingi. Akhirnya memutuskan untuk pulang. Kendati Habin tak kunjung lepas dari kekhawatirannya.

.
.
.

Pagi menyambut, matahari diluar sana cerah sekali. Sayang, tidak secerah hatinya. Jimin benar-benar tidak bisa tidur semalaman. Matanya sudah seperti panda sekarang. Lalu, bagaimana bisa dia tidur, sementara istrinya sama sekali tidak diketahui keberadaannya?

Dengan kepala berat, Jimin menuruni anak tangga secara perlahan. Kurang tidur membuat kepalanya pusing berputar-putar.

Namun, saat suara bel apartemen berbunyi, mata lelah Jimin sontak terbuka lebar. Itu pasti Habin. Ia berlari membukakan pintu.

"Habin!"

Wajah Jimin berubah lega. Benar, dugaannya. Habinnya pulang. Tapi, kenapa wajahnya datar sekali?

"Kau kemana saja tadi malam? Kubilangkan tunggu disana. Jangan kemana-mana. Kau membuatku gila karena harus mencarimu mengelilingi Seoul."

Dengan wajah dinginnya Habin menatap Jimin yang mengomel. Terdengar seperti peduli padanya. Tapi, Habin tahu itu hanyalah sebuah kebohongan.

"Untuk apa?" Tanya Habin bernada lemas.

Dahi Jimin mengernyit heran. Hatinya bergejolak tak enak. Sikap Habin sungguh berbeda dari biasanya.

"Untuk apa aku harus menunggu laki-laki yang tidak akan pernah datang menjemputku lagi? Sementara laki-laki yang aku tunggu dua jam lamanya justru menemui wanita lain?" Habin menekankan setiap katanya. Ia sudah terlanjur sakit hati oleh pria ini. Air matanya deras menetes. Sesekali punggung tangannya mengusap pipi yang basah.

Jimin terkejut. Bagaimana bisa Habin tahu?

"Kenapa? Ahjussi, terkejut aku tahu semuanya. Ya, aku adalah wanita bodoh yang rela kedinginan diluar sana demi Ahjussi. Beruntung Tuhan masih menyayangiku untuk tahu sikap Ahjussi sebenarnya. Hiks,"

"Habinㅡ" Jimin ingin menjelaskan. Jujur saja, ia cemas melihat raut sedih sang istri.

"Cukup, Ahjussi." Habin mengangkat telapak tangannya. Lelah mendengar alasan dari mulut si pengingkar janji seperti Park Jimin. "Aku tahu. Aku tidak sepenting Seo Jira. Aku juga sadar posisiku hanyalah sekedar pelampiasan. Tapi aku juga punya hati, aku bisa terluka, Ahjussi."

Miris memandangnya. Jimin tidak bisa melihat Habin menangis sekeras ini. Biasanya gadis itu akan tegar melihatnya melakukan kesalahan seperti yang dulu-dulu. Tapi kenapa sekarang dia emosi sekali?

"Kenapa Ahjussi melakukan semua ini padaku? Apa salahku?"

Habin menutup wajahnya menggunakan telapak tangan. Menangis sekeras mungkin. Anggap saja ini sebagai suara kesakitan yang selama ini ia pendam selama hidup bersama Park Jimin.

Jimin menghela napas berat. Kenapa semuanya jadi seperti ini?

"Tidak begitu, Habinㅡ"

"Jangan sentuh aku, Ahjussi." Habin menahan tubuh Jimin saat suaminya itu hendak merangkul. Suaranya terdengar parau.

Baby From A Little Wife [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang