Jimin meliburkan dirinya dari urusan kantor. Pria itu menyerahkan semua pekerjaannya pada Namjoon. Kendati Habin sempat mendengar perdebatan kecil sang suami dengan sekretaris sekaligus orang kepercayaanya itu yang sepertinya menolak keras permintaan Jimin. Tapi, sekali lagi, Jimin adalah orang yang tidak bisa dibantah.
Habin tentunya sangat bahagia dapat menghabiskan waktu bersama suaminya.
Sebagai bentuk dari rasa terima kasihku karena Ahjussi karena mau meluangkan waktunya bersamaku dan anakku. Hari ini aku akan memasak makanan yang enak untuk Ahjussi.
Kira-kira seperti itulah pesan Habin sebelum berangkat ke Supermaket terdekat. Bahkan Habin menolak saat Jimin akan menemaninya. Ia berjanji akan kembali dalam tiga puluh menit.
Semua bahan sudah terbeli, Habin berdiri di halte sambil menunggu bus. Sesekali wanita hamil itu memegangi pinggangnya yang kerap terasa sakit selama kehamilannya.
"APPA! APPA! Bertahanlah. Sebentar lagi busnya datang."
Namun, sebuah suara berhasil mengusik perhatiannya. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan menemukan seorang pria tua yang terlihat kesakitan diboyong gadis remaja dengan kepanikkan meliputi wajahnya.
"Ada apa dengannya?" Tanya Habin ikut khawatir.
"Ayahku tiba-tiba saja sakit perut. Aku harus cepat membawanya ke Rumah sakit. Hiks," jawab gadis itu yang tak bisa lagi membendung air matanya.
"Tapi busnya tidak tahu kapan datang. Ayahmu sepertinya sangat kesakitan. Aku akan memanggilkan taksi."
"Tapiㅡaku tidak punya uang."
"Aku yang akan membayarnya."
Habin bergerak cepat memesan taksi. Dalam waktu sepuluh menit, kendaraan roda empat itu akan sampai. Habin membantu pria paruh baya itu untuk duduk di kursi halte, juga mengusap punggungnya.
Sementara putrinya tidak bisa apa-apa selain menangis sambil memeluk ayahnya. Dia pasti sangat ketakutan.
"Ayahmu akan baik-baik saja." Ucap Habin menenangkannya.
...
Delapan belas menit sudah Habin melanggar janji dari waktu yang telah ditentukan untuk kembali. Selama itu pula Jimin mondar-mandir tak tentu arah menunggu kepulangan sang istri yang belum juga kembali.
"Kemana dia pergi?" Gumam Jimin cemas.
Tak ada panggilan atau pesan dari Habin untuk sekadar mengabarinya. Beberapa kali Jimin menghubunginya, tapi wanita itu tidak mengangkatnya sama sekali.
...
"Pasien ini menderita usus buntu dan harus segera dioperasi."
Tubuh gadis remaja itu terhuyung, tapi Habin cepat menopangnya agar tidak jatuh.
"Appa ... hiks,"
"Bagaimana menurutmu? Ayahmu harus segera dioperasi." Habin bertanya pada gadis itu.
"Tapi aku tidak punya uang, Eonni. Aku harus bagaimana?"
Habin tercenung seketika. Uang, ya? Habin ingin membantunya. Tabungan hasil kerjanya mungkin belum cukup untuk membiayai operasi ini. Tapi, kalau Habin biarkan, kasihan sekali gadis ini jika harus kehilangan ayahnya. Karena Habin juga pernah merasakan kehilangan itu.
"Biar aku yang membayarnya." Ucap Habin pada sang perawat.
"Kalau begitu, mari ikut saya mengurus semua biaya administrasi." Ujar sang perawat.
Habin hendak melangkah, namun tangannya dicekal oleh si gadis.
"Eonniㅡ"
"Sudah tidak apa-apa. Ayahmu harus selamat dulu. Kau tenanglah!"
Habin akan menggunakan kartu atm pemberian Jimin. Suatu saat Habin pasti akan mengembalikan uang tersebut.
...
Sementara di rumah, Jimin mendapatkan notifikasi diponselnya. Disana tertulis pemberitahuan dari kartu debit yang dipegang Habin telah dilakukan penarikkan dalam jumlah yang cukup besar dan berlokasi di rumah sakit.
Sontak Jimin terkejut, hatinya tiba-tiba menjadi tidak tenang. Apa sesuatu telah terjadi pada istrinya?
Jimin bergegas menuju Rumah sakit tempat Habin berada.
...
Operasi masih berlangsung, Habin dan sang gadis duduk di depan ruang operasi.
"Siapa namamu?" Tanya Habin.
"Hwang Jiya." Jawabnya lirih dibarengi isakkan yang sesekali terdengar.
"Hwang Jiya ... kau jangan khawatir. Ayahmu pasti baik-baik saja."
"Aku takut, Eonni. Hanya Ayah yang aku punya, kami hanya hidup berdua."
Habin terenyuh mendengarnya. Jiya seperti bayangannya. Bedanya Habin hanya hidup berdua bersama sang ibu.
"Memangnya Ibumu kemana?"
"Ibuku sudah meninggal satu tahun yang lalu."
Habin semakin miris saja mendengarnya. Tangannya meraih tangan Jiya dan digenggam erat seakan menyalurkan kekuatan.
"Eonni, terima kasih untuk semuanya. Kalau tidak ada Eonni, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku janji akan mengembalikan uangnya."
"Tidak perlu. Kau jaga saja Ayahmu dengan baik. Ohya, kau sudah makan?"
Jiya menggeleng pelan.
"Kalau begitu, tunggulah disini. Aku akan membeli makanan sebentar."
Habin meninggalkan Jiya seorang diri. Di tengah perjalanan menuju kantin, Habin tiba-tiba tersentak karena mengingat sesuatu.
Jimin. Pria itu pasti menunggunya. Suaminya itu pasti sedang kebingungan mencarinya. Ia sudah sangat terlambat. Apa dia akan marah?
Habin cepat-cepat menambil ponselnya agar bisa menghubungi Jimin. Matanya seketika terbelalak lebar saat saat Jimin mencoba menghubunginya hampir dua puluh kali. Ia sama sekali tidak mendengar deringan ponselnya karena dalam mode hening.
Habin harus menelepon Jimin. Atau pria itu akan marah besar.
...
Jimin sampai di Rumah sakit. Tergesa turun dari mobil, bahkan berlari ketika memasuki Rumah sakit. Awalnya Jimin bingung arah mana yang harus diambilnya, ia melihat kanan dan kiri dengan napas terengah-engah.
Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, Jimin segera mengangkatnya begitu menemukan nama Habin tertera disana.
"YAK! KAU DIMANA?" Teriak Jimin saking khawatirnya.
Hening beberapa detik. Mungkin Habin terkejut saat dirinya belum mengatakan apa-apa, sudah mendapat semburan amarah dari pria ini.
"M-maafkan aku, Ahjussi. Aku di Rumah sakit sekarang. Tapi, aku tidak sakit. Sungguh." Habin buru-buru mengatakan kebenarannya.
Sekarang barulah Jimin mendapat kelonggaran di dalam hatinya. Sedikit lebih tenang dari yang tadi.
"Lalu, kau dimana sekarang? Aku ada Rumah sakit tempatmu berada."
"Apa? Ahjussi, tahu darimana Rumah sakitnya?"
"Itu tidak penting. Cepat katakan keberadaanmu!"
Habin pun mengatakan posisinya sekarang.
"Aku akan kesana,"
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby From A Little Wife [END]
FanfictionBalas dendam mungkin cara terbaik untuk menghilangkan rasa sakit dihatinya. Namun, Jimin terlalu melibatkan emosi, hingga berakhir dengan penyesalan dan rasa bersalah. Start : 30-Desember-2020 Finish : 25-Desember-2021 WALAUPUN CERITA INI UDAH TAMAT...