14. Gone

3.6K 369 12
                                    

Matahari telah terbenam. Jimin pulang ke rumah lebih awal dari biasanya. Terlihat biasa saja, seolah tidak ada apa-apa setelah pertengkaran hebat pertama kalinya dengan sang istri.

Jimin tampak tenang karena yakin Habin pasti di rumah. Pria itu memasuki kamarnya yang kosong. Bahkan, menyadari keanehan itu, ia tetap berpikir kalau Habin mungkin ada di kamar mandi.

Setelah melepas jas dan tas kerjanya, Jimin kembali ke lantai bawah. Mengambil air dingin dari dalam kulkas. Lantas, menenggaknya dengan tidak sabaran.

Namun, Jimin merasa ada yang ganjil. Ia menyimpan botol airnya ke dalam lemari es lagi. Matanya mengelilingi dapur yang terlihat sama seperti tadi pagi, bahkan kantong belanjaan Habin pun masih berada di atas meja.

Hatinya mulai diliputi kecemasan sekarang. Jimin dengan langkah besar, menaiki anak tangga. Memasuki kamarnya dan membuka pintu kamar mandi. Jantungnya terhempas ke dasar perut. Wajahnya berubah panik ketika tak ada istrinya di dalam sana.

"JUNG HABIN!" Teriak Jimin sembari berlari menuruni anak tangga.

Pria itu menelusuri setiap sudut ruangan rumah. Tapi, Habin tak di temukan di mana-mana.

"Ah, sial." Umpatnya.

Jimin bergegas keluar rumah. Menyalakan mobilnya dan mulai mencari sang istri yang menghilang.

Sepanjang perjalanan Jimin terus mengutuk dirinya sendiri. Ia mengakui ucapannya pagi tadi memang cukup kasar. Seolah-olah menganggap perempuan itu tak mampu hidup tanpanya. Seharusnya ia lebih mengendalikan diri.

Terlebih kondisi Habin yang masih sangat rentan. Pernah satu waktu membaca sebuah artikel bahwa seorang wanita hamil tak boleh menimbun banyak pikiran. Sebab bisa berpengaruh pada kandungannya.

Jimin juga telah menghancurkan hidup gadis kecil itu. Merusak masa depannya dan membuatnya dibenci orang-orang yang berada di sekitarnya.

Bukankah Pertanggung jawaban yang ia lakukan bertujuan untuk melindunginya? Tapi nyatanya, ia malah semakin menyakiti hati gadis itu bukan memperbaikinya.

Netra yang dipenuhi kecemasan itu terus memperhatikan sisian jalan. Berharap menemukan sosok yang dicarinya. Jimin yakin, Habin tidak akan pergi lebih jauh dari perkiraannya.

.
.
.

Habin menghilang. Jimin frustrasi, lelah dan kesal pada dirinya sendiri. Sementara malam semakin menggelap. Sedangkan istrinya sama sekali belum ditemukan. Pria itu beristirahat sejenak di sebuah taman yang masih ramai oleh beberapa pasangan muda. Andai saja istrinya berada di antara banyak orang di sini.

Manik Jimin menyipit, kala tak sengaja menemukan seorang perempuan tengah duduk di salah satu kursi panjang, sambil memandang ke depan. Memperhatikan mereka yang sedang menghabiskan waktu berdua.

Jimin hafal itu Habin. Meskipun hanya dari punggungnya. Senyumnya mengembang. Lega rasanya. Setelah satu jam lebih ia mencari, akhirnya berhasil menemukan sang istri dari bisikkan angin yang memerintahnya ke tempat ini.

Jimin perlahan berjalan menuju Habin. Namun, tak langsung menampakkan diri. Berhenti tepat di belakang sembari memperhatikan bahu yang sesekali bergerak turun karena helaan napas berat itu.

"Tidak pulang, hm?" Jimin bersuara dengan suara lembut.

Habin menegang di tempatnya. Bagaimana bisa suara yang begitu ia benci ada di sini? Namun, ia berusaha bersikap tenang, kendati debaran di dada tak mendukungnya. Bahkan, saat pria itu berdiri kemudian berlutut di depannya. Habin membuang wajahnya ke samping.

"Ingin tidur disini?" Tanya Jimin lagi.

Habin menutup rapat bibirnya.

"Kau marah padaku?" Jimin bersuara lagi.

Baby From A Little Wife [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang