Jimin dan Habin sudah kembali dari Busan kemarin. Ini hari pertama bagi Habin menjabat sebagai seorang istri. Dan, gadis sembilan belas tahun itu kebingungan harus melakukan apa?
Ia pun tak bisa banyak mencontoh rumah tangga ayah dan ibunya. Sebab empat tahun sudah kepergian sang ayah, dan selama itu hidupnya hanya berdua dengan sang ibu. Habin hanya mengingat kebiasaan ibunya yang selalu bangun pagi-pagi sekali demi menyiapkan sarapan untuknya sebelum bersekolah dan sang ayah yang hendak berangkat bekerja.
Habin turun dari ranjang. Sedangkan, Jimin masih sibuk mendengkur di balik selimut tebal.
Habin memasuki kamar mandi. Menanggalkan pakaian tidurnya, sehingga tak ada sehelai benang pun yang menempel. Menarik tirai yang tidak tembus pandang untuk menutupinya selama mandi. Selanjutnya, hanya ada suara gemericik air yang terdengar.
Di tempat lain, Jimin sudah dalam posisi terduduk di atas kasur. Sedang mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali. Dalam keadaan masih mengantuk, Jimin turun dari ranjang, berjalan dengan langkah mabuk.
Ia membuka pintu kamar mandi. Saking mengantuknya, sampai tak menyadari ada sosok lain di balik tirai yang sudah terbuka.
Untuk beberapa saat mereka terdiam sambil memasang ekspresi syok. Jimin mematung dengan mulut yang setengah terbuka. Meneliti dari bawah kaki sampai ujung kepala.
Detik berikutnya, suara jeritan dari kedua pasangan itu menggema di kamar mandi.
Habin bersyukur karena tubuhnya telah terbalut handuk. Tetapi, tetap saja memalukan. Cepat-cepat ia menarik tirai lagi untuk menyembunyikan tubuhnya yang setengah polos.
Jimin langsung membalikkan badannya membelakangi Habin. "YA! KENAPA KAU TIDAK MENGUNCI PINTUNYA?!" Teriaknya marah.
"K-kenapa ahjussi menyalahkanku? M-memangnya tidak dengar ada suara air dari dalam sini?" Bibir gadis itu bergetar karena dingin. Tangannya meremat kuat tirai dalam genggaman.
Aneh. Padahal, Jimin pernah melihat tubuh Habin lebih dari yang sekarang. Tapi, kenapa ia merasa malu?
Mungkin dulu matanya tertutup dendam, sampai tidak menyadari betapa indahnya tubuh gadis itu. Astaga, Jimin adalah pria normal. Apalagi libido laki-laki selalu naik setiap pagi.
"Jadi, mau menyalahkanku?" Jimin berbalik tanpa sadar.
Sukses membuat Habin memekik. Semakin merapatkan tirainya.
Jimin ikut berjengit mendengar teriakkan Habin. Bukannya berbalik lagi, Jimin malah menarik tangan Habin agar keluar dari balik tirai itu. "Ya! Keluarlah!" Ucapnya.
"Tidak mau. Ahjussi, mau apa?"
Habin menekan kakinya agar Jimin tidak berhasil mengeluarkannya dari perlindungan tirai ini.
"Aku juga harus mandi. Berdebat denganmu hanya akan membuatku terlambat. Cepat keluar!"
"A-aku akan keluar. Tapi, ahjussi tutup mata dulu."
Pegangan Jimin terlepas. Mendengus kesal, tetapi tetap menuruti permintaan istri cerewetnya itu.
Melihat Jimin yang sudah memejamkan mata, Habin pelan-pelan keluar dari tirai. Dan, berjalan melewati Jimin. Tapi, nyatanya tak semulus yang dipikirkan.
Tepat, di hadapan Jimin, Habin terpeleset, sehingga tanpa sadar mengeluarkan pekikkan kuat. Membuat Jimin mau tak mau membuka mata. Melihat istrinya nyaris terjatuh, Jimin segera menangkapnya.
Persis seperti drama-drama romantis. Pandangan mereka beradu dalam jangka waktu tidak sebentar.
Jimin dan Habin seolah menjelma menjadi patung. Dengan debaran jantung yang sama-sama melesat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby From A Little Wife [END]
Fiksi PenggemarBalas dendam mungkin cara terbaik untuk menghilangkan rasa sakit dihatinya. Namun, Jimin terlalu melibatkan emosi, hingga berakhir dengan penyesalan dan rasa bersalah. Start : 30-Desember-2020 Finish : 25-Desember-2021 WALAUPUN CERITA INI UDAH TAMAT...