Satu minggu berlalu, Habin mencoba kuat menjalani hidupnya yang hampa ini demi bayinya. Selama itu pula, Jimin tidak pernah menemuinya lagi. Mungkin pria itu benar-benar membencinya tanpa alasan yang jelas. Tetapi sayangnya, Habin tidak peduli lagi. Ia sudah tak peduli pada pria yang tidak bisa mengerti perasaan seseorang. Hatinya terlampau sakit.
Habin bekerja seperti biasa di kedai Sungjae. Hanya saja, perempuan itu menjadi pendiam. Membuat Sungjae dan Naeun menerka-nerka.
"Beberapa hari ini, Habin jarang bicara. Sepertinya dia punya masalah." Kata Naeun pada bosnya. Sambil memperhatikan Habin yang tengah melayani pelanggan.
"Kau benar. Aku akan mencoba bertanya padanya nanti."
.
.
."Sungjae oppa, Naeun eonnie, aku pulang dulu." Habin membungkukkan badannya pada dua orang itu dengan raut wajah datar.
"Tunggu, Habin! Aku akan mengantarmu." Sergah Sungjae.
"Tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih banyak."
Habin berlalu begitu saja dari hadapan Sungjae dan Naeun. Tapi, Sungjae segera menyusulnya.
"Jung Habin! Aku akan tetap mengantarmu." Kata Sungjae tidak menerima penolakkan.
Habin hanya tersenyum tipis tanpa mengatakan apapun. Mereka berjalan dijalan yang sama, menuju rumah Habin.
"Kau sedang ada masalah?" Tiba-tiba Sungjae bertanya langsung ke inti.
Kepala Habin bergeleng kecil. "Tidak ada." Jawabnya.
"Jangan berbohong padaku. Ceritakanlah agar hatimu tidak terbebani. Jangan memendamnya sendiri. Aku siap mendengarkannya."
Habin memang sangat ingin mengeluarkan beban hatinya. Tetapi, tidak ada seorang pun yang bisa menjadi teman curhatnya. Mungkin Tuhan mengirimkan Sungjae untuk tujuan ini.
Berakhirlah, Sungjae dan Habin duduk di halte. Habin meremat jari-jarinya, kepalanya tertunduk pasrah. Sesekali napas wanita itu menguar berat.
"Ibuku sudah meninggal." Kalimat pertama yang Habin ucapkan, disusul deraian air mata.
Sepasang netra Sungjae melebar kaget.
Perempuan itu menangis, tetapi mengulas senyum. Lebih tepatnya senyum kesakitan. "Seseorang menabraknya dengan sengaja. Aku dan suamiku berhasil menangkap pelakunya. Dan ... menanyakan banyak hal, termasuk siapa yang menyuruh pelaku untuk membunuh ibuku? Dia bilang ... Jimin pelakunya." Habin mengusap air matanya.
"Apa? Itu tidak mungkin. Kalau benar suamimu pelakunya, untuk apa dia mencari si pelaku yang bisa saja berkata jujur tentangnya."
Sungjae pun merasa heran. Itu berarti lelaki berkacamata itu juga sepemikiran dengannya. Tidak percaya Jimin dibalik dalang kematian sang ibu.
"Aku percaya pada suamiku. Setelah selesai menginterogasi si pelaku, aku dan Jimin dalam perjalanan pulang. Saat itu aku benar-benar sedang banyak pikiran. Kenyataan tentang kepergian ibuku untuk selama-lamanya benar-benar menguras pikiranku, sampai aku jadi pendiam. Aku tidak tahu, kalau diamku justru membuat Jimin beranggapan bahwa aku percaya dia pelakunya. Hiks,"
Sungjae memandang Habin sendu.
"Ditengah jalan, dia menurunkanku. Lalu, pergi begitu saja setelah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagiku. Sekarang ... aku benar-benar sendirian. Aku tidak punya siapapun di dunia ini, kecuali anakku. Aku tidak peduli lagi pada laki-laki itu, juga tidak peduli dia akan meninggalkanku." Habin mengusap perutnya yang sedikit terasa kram.
Kini, hati Sungjae yang bergejolak marah. Bagaimana bisa Park Jimin menelantarkan anak istrinya untuk alasan yang tidak jelas seperti itu?
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby From A Little Wife [END]
Fiksi PenggemarBalas dendam mungkin cara terbaik untuk menghilangkan rasa sakit dihatinya. Namun, Jimin terlalu melibatkan emosi, hingga berakhir dengan penyesalan dan rasa bersalah. Start : 30-Desember-2020 Finish : 25-Desember-2021 WALAUPUN CERITA INI UDAH TAMAT...