23. Menjadi Lebih Baik

2.8K 310 21
                                    

Hari terus bergilir. Hingga tanpa sadar kandungan Habin sudah memasuki bulan ke lima, begitu pun dengan Jira yang hanya berbeda satu bulan saja.

Hubungan pernikahannya tak berkembang banyak. Meskipun Jimin merasa, akhir-akhir ini ia sedikit lebih berperasaan dari sebelumnya.

Semakin bertambahnya hari, Jimin rasa aura Habin sebagai ibu hamil semakin menggemaskan saja. Entah karena terbiasa atau apa, tapi Jimin merasakan debaran aneh saat melihat senyum gadis itu. Sampai terngiang-ngiang dalam kepala ketika mereka sedang tidak bersama.

Sial sekali, Jung Habin membuat hidupnya terkontaminasi.

Namun, di sisi lain, Jimin merasa lelah.

Sikap manja Seo Jira yang selalu memaksa mengabulkan keinginannya, membuat Jimin kesal setengah mati. Ia bukan suaminya, tapi kenapa dirinya yang lelah?

Habin tak pernah bersikap manja seperti itu. Istrinya itu sangat kuat. Selama lima bulan terakhir, Jira bahkan tak mempunyai kegiatan sama sekali selain berdiam diri di apartemen dan mengganggunya.

Jimin hanya menganggap hubungannya dengan sang mantan kekasih hanyalah sebatas penolong dan yang membutuhkan pertolongan. Bukan sebagai pertanda awal jalinan kekasih itu kembali dimulai.

Jika wanita itu menanggapinya demikian, sungguh, Jira salah besar. Akal Jimin masih sehat untuk memastikan wanita itu memang sudah berubah.

Untuk cinta ... entahlah, ketika berada di sisinya, Jimin tak lagi merasakan debaran apa-apa.

Malam ini, Namjoon mengajaknya untuk makan malam keluarga. Membayangkannya saja Jimin tak sabar untuk segera menyampaikan hal ini pada sang istri. Dia pasti senang.

Jimin sengaja mendiamkan ponselnya. Lelah oleh puluhan notifikasi dan panggilan dari wanita asing.

Mobil terparkir di pekarangan rumah. Jimin memasuki rumahnya dengan langkah terkesan besar. Dibukanya pintu dan mendapati sang istri seperti biasa sedang berkutat di dapur.

"Sedang apa kau di sini? Bukankah aku sudah kirim pesan untuk tidak memasak malam ini?" Tegur Jimin.

"Hhee, perutku lapar sekali, ahjussi. Jadi aku memasak ramen untuk mengganjal perut." Jawab Habin dibarengi kekehan.

"Astaga. Semenjak perutmu membesar, kau jadi banyak makan." Jimin mendekati Habin dan meraih pinggang berisi itu untuk di peluknya.

Habin yang diperlakukan mendadak seperti itu jelas gugup. Kedua telapak tangannya mendarat di dada berotot suaminya. Tatapannya terpaku pada bola mata Jimin.

"A-ahjussi ..." bagaimana pun juga Habin belum terbiasa menerima pelukkan atau ciuman dari lelaki ini. Meskipun belakangan terakhir itulah yang Habin dapatkan.

"Kenapa?" Jimin malah lebih merapatkan diri mereka. Sengaja menjahilinya. Tahu kalau detak jantung istrinya ini selalu berpacu cepat saat berada di dekatnya.

"R-ramenku nanti gosong. B-bisa lepaskan?" Pinta Habin susah payah menetralkan lidahnya yang mendadak kelu.

Jimin justru mematikan kompornya dengan sengaja.

Detik selanjutnya Habin tahu apa yang akan terjadi. Dengan cepat memejamkan mata.

Jimin tersenyum. Padahal siapa yang mau mencium. Apa bibirnya begitu nikmat sampai membuat perempuan ini pasrah?

Lama Habin menunggu, tapi tak juga merasakan apapun. Perlahan pejaman mata itu terbuka. Dan yang pertama dilihatnya adalah Jimin dengan cengiran menyebalkannya.

Habin malu setengah mati. Ia mendorong tubuh suaminya hingga pelukkan mereka terlepas. Bergerak gugup. Tak sanggup melihat wajah Jimin yang pasti sedang mentertawakannya. Bagaimana ia bisa menyimpulkan laki-laki itu akan menciumnya?

Baby From A Little Wife [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang