Part 15

1.7K 282 45
                                    

Aku sedang mengemasi barang-barangku secara perlahan. Aku sudah mengurus beberapa berkas dan kelengkapan lainnya untuk pindah ke Chicago. Aku sangat gugup. Ini pertama kalinya aku akan pergi jauh dari orang tuaku untuk waktu yang sangat lama. Mungkin sesekali aku akan berkunjung, tapi yang pasti tidak akan sesering saat aku berada di Korea.

Tapi ada rasa penasaran dibenakku. Apa aku akan bisa hidup bahagia dengan kebebasan yang akan aku punya disana? Disana yang orang tahu aku sudah hidup bahagia dengan Johnny, padahal ini adalah permulaan perpisahan yang sesungguhnya antara aku dengannya.

Tubuhku masih belum sehat secara sempurna, aku masih harus duduk setiap lima belas menit sekali agar aku tidak merasa terlalu lemas. Dan sekarang aku harus duduk terlebih dahulu.

Aku melihat pil vitamin dan segelas air yang tersedia di meja kamarku. Hampir saja aku lupa meminummnya. Akupun segera meminum vitaminku.

Begitu aku selesai meminum vitaminku, pintu kamarku yang memang dalam keadaan terbuka diketuk. Aku menoleh dan melihat Ten sedang berdiri.

"Kau memerlukan sesuatu?" tanyaku kepada Ten.

"Tidak. Aku hanya ingin memastikan kalau kau sudah meminum vitaminmu." tanya Ten sambil melihatku yang sedang memegang gelas tersebut. Sepertinya Ten yang menyediakan ini.

Aku hanya mengangguk perlahan dan meletakkan gelas itu kembali di atas meja. Aku berniat untuk melanjutkan lagi mengemasi barang-barangku.

"Adora.." 
Ten memanggilku lagi.

Sebelum aku membalikkan tubuhku lagi, entah kenapa hatiku terasa sakit kembali. Entah kenapa aku sedikit kesal Ten memanggilku "Adora". Entah kenapa aku merasa kalau kami tidak seakrab itu lagi.

"Hm?" hanya itu responku. Aku bahkan tidak menghadap ke arah Ten. Aku tetap membelakanginya.

"Hari ini biar saja aku yang mengurusi butik. Kau boleh melanjutkan pekerjaanmu yang lainnya."
Bahkan tidak melihatnya pun aku dapat merasakan Ten juga sedikit takut untuk berbicara kepadaku. Aku tidak salah kalau membencinya bukan?

"Terima kasih." kataku dan langsung melanjutkan pekerjaanku. Aku tidak melihat bagaimana Ten pergi meninggalkan kamarku. Aku masih tidak sanggup berhadapan dengan Ten maupun Johnny.

Tidak lama setelah aku sendiri, aku mendengar suara teriakan memanggil namaku dari ruang tamu. Aku menghela nafasku. Sudah ku duga ibuku akan datang.

Aku menghampiri ibuku yang berada di dapur. Dia sedang menyiapkan makanan yang dia bawa dari rumah.

"Apa akan ada acara, ma? Ini sangat banyak." kataku sambil melihat semua makanan lezat yang tersedia di atas meja makan.

"Duduklah. Kita harus semakin sering makan bersama sebelum kau pergi." kata ibuku yang masih menyiapkan makanan.

Aku duduk di kursi sambil menunggu ibuku selesai. Setelah kami berdua duduk, ibuku mulai memberikan lauk yang banyak dan bermacam-macam ke dalam mangkuk nasiku.

"Ma.. aku bisa mengambilnya sendiri." kataku. Tetapi ibuku tidak peduli.

"Kau sudah sangat kurus, makanlah yang banyak." kata ibuku sambil tidak berhenti memasukkan lauk dan sayuran.

"Ma.. cukup. Ini sudah penuh."

Ibuku tetap tidak berhenti.

"Ma." kataku sedikit tegas dan memegang tangannya agar berhenti mengisi mangkukku dengan makanan.

Plak!

Aku sangat terkejut saat ibuku tiba-tiba melempar sumpitnya ke atas ke meja. Wajahnya juga terlihat memerah.

"Bagaimana kau bisa makan yang banyak disana?! Kalau didepanku saja kau hanya makan sedikit!" Ibuku berteriak histeris. Aku benar-benar terkejut melihatnya.

"Aku tahu kau sangat kecewa karena kehilangan bayimu, tapi bisakah kau tidak membuatku juga merasakan kehilangan putriku satu-satunya?!"
Ibuku mulai menangis tersedu-sedu. Dia menundukkan kepalanya, membuat air matanya menetes ke pangkuannya.

Aku langsung berlari menghampiri dan memeluk ibuku dengan erat. Bagaimana bisa aku melupakan perasaan ibuku kalau aku harus pergi jauh.

Aku terlalu egois karena memikirkan kebebasanku di Chicago, sedangkan hanya aku yang ibuku miliki di tempat ini. Dan begitu sebaliknya, hanya ibuku yang aku miliki sekarang. Aku terlalu egois untuk bisa hidup dengan sesuka hatiku tanpa harus berpura-pura tinggal satu atap dengan Johnny disana. Tapi ternyata perbuatanku itu sangat melukai ibuku.

"Putriku.. bisakah kau tetap disini?" pinta ibuku.

Hatiku sangat sakit melihat ibuku seperti ini. Aku langsung menganggukkan kepalaku dan memeluk ibuku lagi dengan erat.

Aku sudah memutuskan kalau aku tidak akan pergi. Aku akan tetap disini untuk memperjuangkan keluargaku. Aku akan tetap disini untuk memperjuangkan kebahagiaanku.

Aku akan merebut suamiku menjadi milikku seutuhnya.

🌸

Ten sedang duduk di cafe yang berada dilantai dua butik mereka. Dia sedang bekerja dengan laptopnya sambil memeriksa semua keperluan di butik ini. Dia juga harus bekerja keras, karena mereka akan pindah ke Chicago. Sebenarnya akan sangat sulit jika harus memantau dari jauh, tapi itu sudah menjadi keputusan Adora.

Ten melihat ke arah bar cafe tersebut. Dia terbayang akan semua peristiwa waktu itu. Mulai dari tangannya yang terkena minuman panas. Dia melihat tangannya yang masih sedikit diperban. Lalu dia melihat ke arah bar itu lagi.

Muncul bayangan bagaimana Johnny mendorong Adora, lalu darah mulai mengalir dari tubuh Adora. Ten langsung dengan cepat memejamkan matanya agar bayangan itu dapat hilang. Dadanya mulai terasa sesak. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit yang Adora rasakan waktu itu.

Tetapi bayangan yang lainnya pun ikut muncul. Darah yang bercucuran dari kepala seorang pria dan mengalir sampai ke seluruh tubuhnya. Ten menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berharap bayangan itu hilang. Dadanya semakin terasa sesak.

Ten mencoba menenangkan dirinya. Dia berusaha untuk mengatur nafasnya agar dapat kembali normal. Ten membuka matanya. Seorang pria berjalan melewati mejanya, tetapi Ten mendengar suara langkah kaki yang basah. Saat Ten melihat ke arah kaki orang yang berjalan itu, dia melihat setiap langkah pria tersebut mengeluarkan jejak darah. Ten menarik nafasnya karena terkejut.

Dia melihat sekelilingnya lagi. Dia memperhatikan setiap orang yang berada ditempat itu. Mata mereka juga mulai mengeluarkan darah. Kepala Ten seperti berputar-putar sekarang, dan semua tempat itu berubah menjadi merah.

Ten semakin panik. Dia dengan spontan berdiri dari kursinya dan membuat laptop yang berada dimeja sampai terjatuh kelantai membuat suara yang keras.

Semua orang ditempat itu melihat Ten dengan cemas dan kebingungan. Salah satu pekerja mencoba menghampiri Ten karena wajah Ten terlihat pucat. Tapi Ten mulai sadarkan diri. Dia mengangkat tangannya ke arah pekerja itu memberi isyarat kalau dia tidak membutuhkan pertolongan.

Semua mulai kembali normal. Ten duduk kembali sambil mengatur nafasnya. Dia mengambil beberapa lembar tisu untuk membersihkan keringat yang mengalir di keningnya.

Setelah beberapa saat, Ten berhasil kembali tenang. Dia mengambil laptopnya yang terjatuh di lantai. Dia menghela nafasnya ketika menyadari laptopnya sedikit rusak. Dia pun merapikan semua barang bawaannya.

Saat Ten akan berdiri, seorang wanita datang menghampirinya. Wanita itu sudah berada di sebelah meja Ten.

"Hai, kau pasti Ten bukan?" sapa wanita itu dengan nada centilnya.

Ten memperhatikan wanita tersebut dari atas sampai kebawah. Dia wanita yang sangat cantik.

Lalu sebuah senyuman muncul di bibir Ten.
"Kau pasti Nancy bukan? Aku sudah lama menunggumu." jawab Ten.

Wanita tersebut terlihat sedikit bingung awalnya, tapi kemudian dia pun ikut tersenyum. 

The Gay Husband (Johnny/Ten) NCT -hiatus-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang