Part 8

1.7K 278 36
                                    

Ten masuk ke dalam kamar. Matanya langsung tertuju ke sebuah foto dirinya dan Johnny yang berada di sebelah tempat tidur mereka. Dia mengambil foto itu lalu melihatnya beberapa saat.

Ten mengangkat tangannya ke atas, bersiap untuk membanting bingkai foto itu ke lantai. Tetapi gerakannya terhenti. Dia melihat pantulan dirinya di cermin. Perlahan dia melangkah mendekat ke cermin itu.

Satu tangannya meraih ujung bawah kaos yang dia pakai, lalu dia mengangkatnya perlahan. Dia melihat bekas jahitan di bagian pinggang kirinya yang sudah mulai pudar. Dadanya mulai terasa sesak. Semakin deras air matanya mengalir. Semua kenangan itu masih jelas terngiang di kepalanya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terbuka. Ten buru-buru meletakkan bingkai foto tersebut dan menghapus air matanya.

Johnny masuk ke dalam kamar dan melihat Ten sedang berdiri di depan cermin. Dia menghampirinya dan memeluk Ten dari belakang. Ten berusaha melepaskan diri, tetapi Johnny menahannya. Akhirnya Ten hanya bisa pasrah.

Johnny membenamkan wajahnya di leher Ten, sambil sesekali mengecupnya. Saat ini perasaan Ten benar-benar campur aduk. Sedih, kecewa, sakit, namun amarahnya lebih kuat. Ten menahan dirinya dengan mengepalkan tangannya dengan kuat.

"Tidurlah. Aku berjanji ini tidak akan lama." bisik Johnny lalu mengecup pipi Ten dan pergi lagi keluar dari kamar.

Setelah melihat Johnny benar-benar keluar dari pantulan cermin, Ten mengambil telepon genggamnya dari kantong celana. Dia menulis sebuah pesan singkat, mengirimnya, lalu menghapus pesan itu lagi. Kemudian dia bersiap-siap untuk tidur.

Bisa kah kau bertindak lebih cepat? 
Aku sudah tidak tahan lagi.
-Ten-

🌸

Aku duduk diujung tempat tidurku. Aku sangat gugup. Bahkan telapak tangan dan telapak kakiku terasa seperti es. Aku berusaha meyakinkan diriku dengan mengulang semua perkataan Johnny.

"Apa?! Kau sudah gila?!"  Aku meneriaki Johnny. Tetapi Johnny hanya melihatku dengan tenang.

"Bukan aku yang gila. Tetapi tradisi keluarga kita yang gila." jawabnya.

"Tapi itu juga bukan alasan kita bisa-"

"Apa kau punya kekasih?" tanya Johnny tiba-tiba.

"Ha?" tanyaku heran dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.

"Kalau kau punya kekasih, itu jauh lebih baik. Jadi aku tidak perlu melakukannya denganmu. Tapi setahuku kau tidak punya kekasih bukan?"

Aku hanya menatap Johnny dengan mulut terbuka. Apa dia benar-benar bisa melakukan hal itu tanpa ada perasaan sedikit pun? Jujur, membayangkan aku dan Johnny melakukan itu saja sudah membuatku mual dan jijik. 

Apalagi untuk mempunyai keturunan belum tentu langsung berhasil hanya dengan satu kali melakukannya. Apa dia tidak merasa jijik jika harus melakukannya berulang kali?

Lalu.. bagaimana dengan Ten?

"Atau kau mau membayar pria lain untuk menghamilimu? Baiklah, itu juga lebih ba-"

Plak!

Aku menampar Johnny dengan sekuat tenaga. Dia benar-benar sudah kelewatan batas. Apa harga diriku serendah itu dimatanya?

Tetapi bukannya menyesali ucapannya, Johnny malah menjadi marah. Dengan cepat dia mendorong tubuhku dengan kasar sampai aku mendarat di kursi yang berada dibelakangku. Tangannya juga sudah melingkar di leherku dengan cengkramannya yang kuat. Ya, dia mencekikku.

The Gay Husband (Johnny/Ten) NCT -hiatus-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang