Penggalan | 10

77 3 0
                                    

-----

Bagian: Arundaya

Kakiku menginjak lantai ballroom berkarpet navy nan mewah di malam pesta pernikahan anak seorang CEO stasiun TV yang menaungiku.

Aku bergabung bersama beberapa rombongan devisi ku awalnya, setelahnya kami kesana-kemari mencari kesibukan masing-masing. Tetapi, siapa lagi kalau bukan Rio yang selalu setia bersamaku. Sehingga aku nggak harus merasa layaknya kapal yang terombang-ambil ditengah lautan lepas. Meski aku harus rela kesana-kemari juga menemaninya mengambil makanan dengan sepatu heel sialan ini.

Acara belum mencapai puncaknya, aku udah merasa bosan. Karena terlalu ramai dan bising. Untung lighting nya di setting redup, bila nggak mending aku segera pulang setelah memberikan amplop sebelum aku merasa pusing dan mual.

“Gue keluar sebentar ya.”

“Mau gue temenin Ar?”

Aku menggeleng cepat, menunjukkan bahwa aku baik-baik aja. Sebagai seorang Rio, dia tentu paham bagaimana aku yang cepat merasa pusing dan mual ketika berada dalam situasi yang begitu bising, ramai, berdesakan dan sedikit panas. Ilmiahnya mungkin oksigen yang aku dapat minim banget. Tapi berbeda ketika sedang berada di lapangan, mungkin karena outdoor memungkinkan ketercukupan oksigen lebih banyak dan fokus ku hanya tertuju pada pekerjaan.

“Oke. WA kalau ada apa-apa!”

Aku cukup mengangguk sembari melangkah menuju salah satu pintu keluar yang menghubungkan pada balkon cukup luas dan lapang. Angin malam hari yang dingin dan damai langsung menyapa lengan dan sebagian punggungku yang terbuka.

Sempat terkejut tetapi respon tubuh ku langsung aktif untuk mentoleransi suhu luar yang cukup dingin ini.

Membuka tas jinjing dan mengaduk isinya cepat, hingga menemukan ponsel yang sejak sore tadi lupa disentuh. Mencoba mengecek yang sekiranya meminta untuk direspon. Isinya seperti biasa nggak ada yang spesial kecuali deretan e-mail yang menawarkan kerjasama yang menjanjikan. Bagiku biasa aja, nggak ada yang namanya spesial.

Aku mendesah- menyalahkan diri sendiri mengapa tadi nggak membawa bekal secangkir minuman berkarbonasi. Yang bisa menyegarkan tenggorokanku yang tiba-tiba minta dibasahi.

Mencoba mencari kenyamanan aku memilih berjalan menyusuri balkon yang jauh lebih tenang- berbeda dengan atmosfir didalamnya. Mataku menangkap sosok Banyu yang sedang menyandar miring di pembatas kaca balkon ini. Mata kami saling bertemu seiring dengan keterkejutan kami. Posisinya langsung berganti tegap sementara aku tetap mematung. Berniat menyapa dengan permulaan senyum.

“Kamu?”

“Iya... mau cari angin sebentar.” Alibi Ku.

Aku ikut berdiri berjarak di sisi kiri Banyu, yang memakai kemeja navy dan jas hitam sesuai dress code.

“Tamu dari Christ atau Angela?”

“Christ, dia teman semasa kuliah hanya beda jurusan. Tapi kami begitu akrab hingga sekarang.”

Aku mengangguk. Anak CEO yang aku maksudkan adalah Chris- Christopher yang menikahi Angela- putri seorang pengusaha tambang emas di pulau Borneo. Bayangkan aja seperti apa megahnya gelaran perta pernikahan kali ini.

“Kenapa malah keluar?”

“Oh nggak apa-apa. Pingin lihat luar aja. Kamu sendiri?”

Sebelum menjawab Banyu tertawa sejenak. “Kalau boleh jujur saya nggak begitu nyaman di keramaian seperti itu.” Sontak aku tertawa, pengakuannya terdengar murni. Seperti menjawab pertanyaan ku sendiri.

Meraba RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang