-----
Bagian: Arlanta
Bandung Maraton. Mumpung deket nggak aku sia-siain sih ini acara. Mengajukan cuti dua hari aku rasa cukup dan maha baiknya Tuhan, cutiku diterima. Lalu pagi ini aku bersama tiga temanku udah siap jasmani rohani berdiri di lapangan yang riuh. Kategori maraton yang kami pilih pada ivent kali ini individu 200K. Makannya aku sengaja ambil cuti dua hari karena hari keduanya aku gunakan buat recorvery.
Suasana memang begitu ramai bukan hanya di padati kami para peserta dan panitia aja tapi para pembisnis dadakan juga tumpah ruah disini menjajakan berbagai macam barang untuk memeriahkan Bandung Maraton. Nggak ada angin nggak ada hujan kenapa pandanganku samar-samar melihat Arun di kerumunan peserta yang lain. Meski pakaian yang dia kenakan dominan hitam, aku cukup yakin kalau itu benar dia. Ngapain dia sini? bilapun ada liputan nggak musti pakai pakaian sport juga dong?
“Liat siapa lo?”
“Nggak.”
Tak lama setelah itu, kami diminta untuk mendekat kearah depan panggung untuk mendengarkan arahan dari panitia. Sembari mendengarkan instruksi dari kejauhan aku mencoba mencari jawaban tetang pertanyaan tadi.
Aku mengedarkan mata ke sekeliling. And damn you Arlan! Arun menjatuhkan mata tepat pada matamu? Aku kikuk namun berusaha baik-baik aja. Arun yang berdiri cukup jauh dariku memberikan senyum yang langsung aku balas setelahnya. Selama itu pula ketiga temanku ternyata sadar apa yang aku lakukan.
“Lo janjian sama yang lain?”
“Nggak. Nggak sengaja ketemu aja.”
Mika menajamkan mata atas kekepoannya.“Itu yang pake baju hitam topi putih Lan?”
“Iya.”
“Lah bukannya jurnalis yang cantik itu Lan?” Damar sepertinya tahu.
“Iya.”
“Kok? Wah ini anak mainnya udah kejauhan bro!” Damar mulai membuat onar.
“Shut up guys. Pindah haluan buru.”
Aku meminta mereka segera berjalan menuju area kategori maraton kami. Sekalian mencoba membungkam mulut mereka. Ternyata gagal.Walaupun disepanjang jalan aku masih aja menlan bully-an dari mereka. But, dimana sih letak masalahnya? Sampai mereka selama perjalanan nggak bisa diem. Bahkan mereka jauh lebih tahu tentang Arun yang katanya jurnalis dengan segudang prestasi, jurnalis sekaligus motivator, jurnalis yang berpengaruh, jurnalis pembawa dampak positif, jurnalis tangguh, jurnalis dengan banyak follower, jurnalis cantik banyak yang naksir dan etc lah. Aku cukup tersenyum, karena aku nggak bisa mencegah mereka buat diem dan jujur aja aku pun takjup mendengarnya.
Ah lama ndekem di rumah sakit membuatku sulit terkoneksi akan subjek-subjek spektakuler kaum hawa yang jadi incaran kaum adam seperti ini. Dan Arun masuk di dalamnya, katanya.
Sesuai tujuan awal, aku dan ketiga temanku menyelesaikan maraton ini dengan penuh keseruan, walau nggak bisa menyabet tiga besar tapi banggalah bisa selesai dengan aman. Karena ini untuk pertama kalinya aku dan Arnaf yang se-profesi sama denganku coba-coba ikut kategori 200k. Ternyata aku mampu.
I’m sorry to my calf and soles of the feet. And, I neet you muscle cream after that.
Kembali aku teringat dimana selama maraton tadi aku nggak ngeliat Arun sama sekali. Asumsiku sih bisa jadi dia nggak ambil kategori yang sama denganku. Kecenderungan besarnya sih ambil relay marathon karena ngeliat kelompoknya yang kompak banget pakai baju yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraba Rasa
RomanceMaka, diperhentian kedua. Meletakkan tiap rasa yang kemarin sempat membiru. Meragukan hati yang meminta kembali. Atas dasar arah buntu, karena memang telah sampai pada ujungnya. Meraba tiap jengkal gelap, justru menemukan terang. Hingga menyerah...