-----
Bagian: Arlanta
"Ar. Tunggu" Ketukan suara hak sepatunya menggema menuju kearah 'ku. Nggak mencoba menyakiti hatinya, dengan ramah aku berbalik arah. Menghadapnya yang kini udah berdiri di dekat 'ku.
"Iya Fris, pulang naik apa? Dijemput papa apa abang? Atau mau gue antar?" Basa-basi aja sih sebenarnya. Tapi juga nggak merasa terbebani kalau harus nganterin dia.
"Iya dijemput abang, tapi belum gue kabari sih"
Kami udah sampai di parkiran mobil.
"Yaudah gue antar aja" Oke. Meski aku punya firasat buruk tentang ini, aku masih ada hati untuk nolongin dia. Alasan sebenarnya sih supaya Mas Rangga- abangnya Friska nggak perlu repot-repot jemput dia.
Tameng udah aku pasang kuat-kuat jika sewaktu-waktu Friska yang jago debat ini menanyakan pertanyaan mautnya.
"Sejauh mana kamu pergi mencari jawaban Ar?"
Bukan berarti aku sulit menjawab, bukan. Hanya aja aku takut ini akan menjadi salah paham baginya.
"Sesulit itu ya sekedar bilang ya atau nggak?"
Aku mengecilkan volume radio. Entah, antara bingung mau menjawab dengan cara seperti apa dan berusaha menghargai tiap kalimat yang Friska ucapkan.
"Gue harus nunggu berapa lama lagi?" Dia kembali menatap kearah depan. Mungkin mulai muak melihat wajah 'ku, "gue hanya nggak mau waktu gue kebuang sia-sia menunggu hal abu-abu seperti ini"
"Sebentar. Yang membuat ini terjadi mulanya dari siapa sih? Coba kita flashback sekalian validasi ya Fris?"
Friska kembali menghadapkan wajahnya padaku. Sumpah ya, firasat buruk tadi makin dekat pada kenyataan.
"Fine, gue yang memulai. Tapi, tapi kan semua ada dasarnya Ar." Terangnya menggebu.
Fine too. Melihat situasi dan kondisi yang akhirnya seperti ini. Menyetir dengan pikiran bercabang banyak bukanlah hal yang baik. Aku tahu Friska salah satu orang yang jago mengontrol emosi, tapi sepertinya nggak untuk sekarang.
"Mau berhenti dulu buat bicara?" Tawar 'ku mencoba mencari solving terbaik.
"Bahkan lo masih bisa setenang ini ya Ar. Gue terkadang merasa takut, kalau semua yang telah berlalu hanya gue yang jadi tokoh utamanya."
Tuh kan, dia mulai menerka-nerka yang nggak-nggak. Apa aku harus hiper juga menghadapi semua ini? Aku juga sebenarnya cukup terbebani melewati ini semua hampir tiga tahun. Aku memilih diam, dari pada memperkeruh suasana. Biarlah Friska bebas mengungkapkan semua yang dia rasakan.
"Kurang lama ya ambil waktu tiga tahun buat mikir."
Mobil berhenti di depan rumah Friska. Untunglah Friska sampai dirumah sebelum emosinya meledak dijalanan. Repot nantinya.
Oke baiklah, jika dia mempersilahkan aku buat speak up. Jika dia ingin jawaban sekarang. Dengan hati-hati aku memikirkan kalimat yang tepat. Intinya aku berusaha nggak sedikitpun menggoncangkan perasaannya.
"Fris. Oke gue akan coba bicara. Tapi tolong, tolong tenangin diri lo dulu. Gue nggak mau terjadi hal buruk kedepannya. Sebelumnya gue pribadi minta maaf sebesar-besarnya, kalau selama ini bikin lo susah, bikin lo nunggu seperti yang lo bilang tadi. Tapi selama ini gue juga lagi nunggu, sama seperti lo. Gue juga berusaha dan terus berusaha mencari jawaban terbaik buat lo atau buat kita." Aku melihat Friska sedikit melunak. "Sampai-sampai gue jadi takut sendiri dan berakhir makan waktu lama seperti ini. Kalau lo nagih jawaban sekarang, oke gue bakal jawab supaya kita sama-sama lega."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraba Rasa
RomanceMaka, diperhentian kedua. Meletakkan tiap rasa yang kemarin sempat membiru. Meragukan hati yang meminta kembali. Atas dasar arah buntu, karena memang telah sampai pada ujungnya. Meraba tiap jengkal gelap, justru menemukan terang. Hingga menyerah...