Penggalan | 20

12 2 0
                                    

-----

Bagian: Arundaya

Lebih seminggu dari sebulan perjalananku menjelajah pulau Maluku. Aku benar-benar memuji diriku sendiri dalam menyamarkan semua kesedihan dan perasaan negatif lainnya. Iya, aku udah berkata sejak awal. Sedihku ya sedihku, lukaku ya lukaku. Tapi bahagiaku bahagia kalian semua. Sebisa mungkin aku berusaha menyimpan payah diriku di hadapan banyak orang. Termasuk orang-orang terdekatku sekalipun.

Pernah aku luput, mereka tak jarang melihat perubahan itu. Akhirnya aku terlihat payah dihadapan mereka. Kembali lagi pada kekuatan dan jenis permasalahan masing-masing. Paling anti aku terlihat menangis di depan orang lain. Kalau bisa aku tahan akan ku tahan. Bilapun gagal, bagaimana caranya aku harus bersembunyi. Mendekap air mataku sendirian.

Empat hari sebelum ekspedisi ini dimulai. Aku meluruhkan air mataku di depan Banyu. Cengeng sekali aku. Aku sempat berfikir, kenapa aku mudah sekali menangisi kisah itu. Perkara terluka karena cinta beberapa kali pernah aku alami. Tapi kenapa perkara yang satu ini aku mudah sekali berubah melankonis? Apa bedanya?

"Jadi gini Ar, jangan menelan mentah-mentah ucapan orang lain. Dicuci dulu kek, siapa tau ada kotoran disana." Mbak Nimas, penata rias program Bangsaku bersuara setelah aku bercerita panjang lebar sebelumnya. Sial, selama ini ternyata dia mengetahui ada yang nggak beres denganku.

"Ini sebenarnya aib gila gue, tapi gue bagi aja ke kamu. Dua tahun lalu gue mengalami persis yang kamu alami saat ini. Gue yang menyerah tapi Ways nggak nyerah sama sekali. Gue pergi ke Surabaya dan hal itu nggak jadi alasan buat Ways mundur."

"Dan usahanya itu yang ngebuat gue akhirnya paham. Guelah orangnya. Gue yang Ways perlukan untuk mendampinginya." Katanya final. Memberikan penekanan jika, sejauh manapun kita pergi, orang yang mencintai kita akan tetap menunggu kita pulang bahkan menghampiri dan membawa kita pulang ke sisinya.

Jadi terlihat ada usaha, ada perjuangan. Meski kita terang-terangan membangun jalan buntu.

"Nggak apa-apa kamu nggak ngasih tau namanya, it's okay itu hak kamu. Tapi gue akan bilang ke dia, ngasih tau dia dari sini."

Kedua alisku berkerut. Mbak Nimas tiba-tiba bangkit berdiri menjatuhkan butir pasir laut yang menempel di celananya. Diterpa angin. Setelahnya Mbak Nimas berteriak diantara angin sore pantai ini.

"Woi! Pacar Arun! Jangan nyerah, jangan berhenti sampe disini! Arun aslinya cinta mati sama elu! Tunjukin kalo elu adalah yang terbaik untuknya! Tunjukin kalo pemikiran Arun salah! Wuhhh!" Helaan nafasnya membuat titik yang tegas.

Setelahnya kita tertawa bersama. Cuma bedanya Nimas terlihat ngos-ngosan.

"Ar, ingat ya. Kalau dia tetap ingin sama kamu. Tapi kamu malah pilih pergi, gara-gara kemakan omongan orang lain. Gue akan bilang ke kamu 'bego banget lu jadi perempuan' udah gitu aja."

"Kalau yang dikatakan perempuan itu bener gimana?"

Mbak Nimas tertawa, hal ini membuatku kebingungan. "Ya kamu bersyukur. Tandanya kamulah orangnya?"

"Kok bisa?"

"Kamu yang dicarinya selama ini, sebanding dengannya, bisa melengkapinya, sepadan dengannya, berguna bagi banyak orang. Kamu juga begitu kan?"

Meraba RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang