Bagian: Arundaya
Ku pikir setelah apa yang udah terjadi diantara aku dan Banyu akan tergeletak begitu aja seperti tumpukan kertas bekas salah cetak. Nyatanya nggak seperti itu. Malahan tumpukan kertas itu semakin menggunung. Karena tambah hari, tambah cerita baru yang tertulis di kertas itu.
Memang nggak tiap hari kita akan bertemu. Karena pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Tapi tiap bertemu meski hanya berpapasan entah di lobi atau di basement, selalu ada kalimat dalam obrolan kecil yang selalu membawa dampak positif untukku.
Berkali-kali aku mengatai diriku bodoh karena menyematkan kata-kata buruk terhadapnya. What else if not that crazy incident? Sekarang aku jadi paham, kalau rencana Tuhan memang selalu yang terbaik. Meski di bagian awalnya seringkali nggak mengenakkan. Tapi yakinlah pada akhirnya kita akan menemukan arti dari semua itu.
Seperti sekarang contohnya. Dengan motivasi apa Banyu datang menemuiku di dalam salah satu mobil ambulan siaga yang stand by di banyak titik aksi demonstasi tolak UU Cipta Kerja Yang berhasil mengundang para demonstran turun ke jalan agar kehendaknya didengar dan diindahkan oleh para petinggi Negeri ini.
Dengan wajah paniknya Banyu bertanya, "Arun? Kamu baik-baik aja kan?" Aku mengangguk.
Dan saat itu juga paramedis yang menangani lukaku pamit untuk membereskan alat. Karena mereka telah selesai melakukan tugasnya.Banyu kemudian melihat keadaanku dengan seksama. Like doing an assessment. "Lukanya udah diobati semua?" Aku kembali mengangguk.
Aku sedang enggan memberikan jawaban, lebih memilih mengamati tiap ekspresi yang keluar akibat emosinya. Banyu, he seemed to change, looking different from the ones I met before.
Untuk sekarang atmosfir yang aku rasakan campur aduk. Sampai-sampai aku sendiri susah mengenali perasaanku sendiri. Rasayang semula sempat membelengguku perlahan sirna terhapus lembut berganti kenyamanan. Kenyamanan? Maybe it's one form of expression that I can say.
Oh Gosh! damn comfortable can i feel by him. Ketakutanku akibat kejadian sial yang menimpaku dan awak media lainya perlahan mengikis. I feel safe with him here. Wajar bila seorang yang sedang terkena musibah akan merasa sangat beruntung jika ada seseorang yang mau berbagi rasa dengannya.
Tapi kembali lagi. Sisi lain dari diriku ingin meralatnya untuk nggak berlebihan.
Banyu keluar, pamit dengan menepuk punggung tanganku pelan. Menuju ambulan di belakang untuk menemui paramedis yang tadi menolongku. Sedikit memutar badan agar bisa melihatnya dengan jelas. Banyu seperti membicarakan hal serius dan perempuan yang diajak bicara manggut-manggut.
Dia kembali bersama perempuan tadi- yang merawatku. Masih dengan wajah seriusnya aku masih bisa menemukan kenyamanan yang terselip di dalamnya. He look manly. Ketika ia berkata, "saya harus segera kembali ke rumah sakit. Saya pastikan kamu aman disini sama Mbak Laras sampai kondisi kamu jauh lebih baik. Kebetulan dia salah satu tim dari UGD rumah sakit yang diterjunkan disini."
Dan kelihatan profesional, ketika ia berkata, "masih ada pasien yang harus saya visite." Pandangannya berpaling ke Mbak Laras, "Mbak Laras titip Arun ya."
Sekilas aku melihat Mbak Laras mengacungkan jempol dibalik sarung tangan lateksnya.
Sedetik Banyu mengembangkan senyumnya. Lalu berjalan sedikit tergesa menuju arah barat- arah aman yang jauh dari lokasi demo.
Dalam kepergiannya langsung muncul sebongkah rasa kecawa di dasar hatiku. Seperti nggak terima pada Banyu yang datang hanya selintas lalu.
"Ar... Udah mendingan kan? Yuk ke mobil kita balik ke office." Rio datang tiba-tiba dari arah barat dan sedang nggak membawa kameranya. Mungkin dia berusaha nyelametin kameranya lebih dulu dengan menaruhnya di mobil sebelum datang kesini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraba Rasa
RomanceMaka, diperhentian kedua. Meletakkan tiap rasa yang kemarin sempat membiru. Meragukan hati yang meminta kembali. Atas dasar arah buntu, karena memang telah sampai pada ujungnya. Meraba tiap jengkal gelap, justru menemukan terang. Hingga menyerah...