-----
Hai-Lo sehat selalu ya buat kamu.
Tetap semangat. Jangan mudah menyerah. Ingat juga istirahat. Aku yakin kamu adalah manusia-manusia berjiwa kuat.Bersabarlah dalam menghadapi pencobaan. Bermegahlah hanya di dalam Tuhan pada tiap keberhasilan yang kamu capai.
Jangan lupa bernafas. Jangan lupa juga beryukur.
-----Bagian: Arlanta
Ternyata kita sama-sama pakai kaos putih dengan gambar beda. Ini udah yang keberapa kalinya aku sendiri lupa, sering kali tanpa janjian kita kerap saling memakai pakaian dengan warna sama. Warna monokrom gitu pokoknya, karena kita sama-sama menyukai warna ini. Akunya dan akuku saat itu.
Arun langsung mendorong punggungku agar mau duduk di sofa santai dan memberiku tiga toples cemilan. Wah langsung tercium aroma-aroma suap berkedok cemilan ini.
Aku bertanya heran dan dia hanya terus-terusan senyum dan memintaku untuk nurut. Ini cuma opening dengan suap cemilan. Ujung-ujungnya kalau aku nggak nurut dia pasti mengomel.
Tapi omelan yang satu ini beda. Omelannya terasa selalu spesial. Kedengaran seperti peduli dan menuntunku kearah yang lebih baik. Belum lagi diimbangi sama kesan manis-manis melegakan paru-paru. Aih. Ketika mulutnya mengeluarkan kata-kata secepat kereta berjalan. Bukan dibikin risih, malah dibikin tambah sayang.
"Pokoknya kamu diam aja disini, biar saya yang masak"
Aku nggak terima dong. Masakan dia yang repot, aku yang santai. Nggak bisa, repot satu ya repot semua.
"Kali ini aja ya?"
"Nggak! Pokoknya saya ikut."
Arun malah mematung, menasihatiku lewat pancaran matanya dengan melipat kedua tangannya sebagai tanda kalau nasihatnya nggak bisa diganggu gugat. Menggemaskan.
Menjinakan Arun sebenarnya mudah. Aku menatapnya tenang. Karena kegusaran harus disandingkan dengan ketenangan.
"Keburu lapar Arun..."
Arun menurunkan kedua tangannya lemas. Aku meraih satu tangannya pelan lalu berdiri di depannya. Dan menggandengnya berjalan menuju kitchen island. Arun menurut.
"Saya lebih suka apa-apa dilakukan bersama tau"
Arun beneran luluh dan akhirnya kita memasak bersama seperti biasanya. Mudahkan?
Udah kesekian kalinya Arun selalu seperti ini baik ketika kita memasak di apartemennya atau apartemenku. Katanya biar aku bisa istirahat. Namun aku selalu menolak, karena aku tahu Arun juga sama lelahnya.
Semandiri apapun kita, sekuat apapun kita sama aja akan melelahkan jika dikerjakan sendiri. Oleh karenanya dikerjakan bersama akan lebih ringan. Apalagi dikerjakan bersama orang yang bisa dikatakan sekonsep dan setujuan dengan kita. Berkat luar biasa sih ini, kerjaan jadi enteng.
Banyak momen aku habiskan bersamanya, hingga sedikit banyak aku paham seperti apa karakter Arun. Dia nggak mau menyusahkan orang lain. Kalau bisa dihandle sendiri ya gaskan. Hal ini dikatakan baik, namun kenyataannya ini justru menyusahkan diri sendiri. Aku mengalaminya sendiri, meski diawal udah didasari dengan rasa ikhlas. Tetap aja, ujung-ujungnya repot sendiri. Tak jarang muncul ungkapan kasar keluar didalam hati. Berakhir dengan kesal yang dipendam sendiri. Apa lagi kalau usaha kita nggak dihargai orang lain. Emosi langsung menginvasi sampai ke ubun-ubun.
Belajar dari hal itu aku mulai memilah-milah lagi mana yang sekiranya bisa aku upayakan sendiri dan upayakan bersama. Terlebih dalam hal personal orang lain dalam tim. Kita perlu mempelajari cepat bagaimana karakternya. Salah-salah kita sendiri yang merana. Apalagi itu untuk kepentingan bersama. Jadi merasa dibikin kacung aslinya kalau jatuhnya gitu. Jika ini ada motif tingkatan kekuasaan dalam kerja tim ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraba Rasa
RomanceMaka, diperhentian kedua. Meletakkan tiap rasa yang kemarin sempat membiru. Meragukan hati yang meminta kembali. Atas dasar arah buntu, karena memang telah sampai pada ujungnya. Meraba tiap jengkal gelap, justru menemukan terang. Hingga menyerah...