-----
Bagian: Arundaya
Kekhawatiran yang aku coba redam, pada akhirnya terjadi. Segala kegiatan timbang menimbang harga diri diakhiri dengan aku mendapat beban paling ringan. Pada akhirnya benar, aku tetap aja tak bisa mengimbanginya. Aku memang tak pantas bersanding dengannya.
Mati-matian aku menahan peluh di dalam mataku jatuh. Mati-matian aku berusaha menjadi bernilai dengan tak seberapa nilai yang aku miliki. Mati-matian aku tetap mendongak meski berkali-kali aku di tundukan oleh kenyataan. Bahwa aku tetap aja bernilai rendah.
Harusnya aku menyudahi sejak awal. Hingga semua ini bisa gagal terjadi karena aku cepat mengambil langkah sejak awal.
Harusnya aku terlebih dulu membersihkan cermin. Hingga bayanganku disana lebih jelas, bahwa memang aku jauh dari kata pantas.
Harusnya aku bisa menyudahi isyarat perasaan yang mengatasnamakan cinta, rindu dan dekap. Hingga aku bisa berbalik arah dan tak makin erat dalam dekap sang wira.
Harusnya. Harusnya aku pergi, setelah benar-benar tersadar. Lebih sopan kalau rasaku tak ku tanam di hatinya.
Kata-katanya terus-terusan mengiang di kepala ku. Mendesak ku untuk segera mengambil langkah pulang. Sebelum perjalanan ini menemui rintang yang makin berat.
Aku seperti mendengar suatu pernyataan. Bersamaan datang membawa keraguan dan kematian rasa. Pada diriku dan pada dirinya. Banyu.
"Lo beneran? Gue nginep sini ya?"
"Beneran Git,"
"Yaudah yaudah..." Rio menengahi. "Kalau butuh bantuan jangan ragu minta tolong ke kita. Terlebih Banyu, dia yang lebih paham." Tambah Rio, yang sejujurnya tidak ingin aku dengar kalau ada namanya disana.
"Oke, thanks ya. Kalian hati-hati dijalan." Aku membuka pintu mobil dan segera masuk meninggalkan mereka.
Terbilang masih sore. Aku rasa lebih punya banyak waktu untuk healing dan berpikir dengan matang untuk langkah selanjutnya.
Aku tipikal manusia yang malas melawan kenyataan. Pada akhirnya itulah takdirnya. Betapa baiknya Tuhan memberikan tanda dan peringatan lebih awal. Sebelum semuanya patah, lebih baik aku menyudahi cerita indah diujung getir ini. Karena harusnya inilah yang terbaik.
Aku mengirimkan pesan kepada Mbak Sarah. Bahwa besok aku akan menemuinya, menyampaikan bahwa aku menerima promosi karir darinya.
Bangsaku. Program TV yang menayangkan kehidupan masyarakat di daerah 3T. Khususnya di Pulau Maluku yang direncanakan menghabiskan waktu dua bulan disana.
Keputusanku sudah bulat. Banyak opini baik yang datang. Ijin dari ayah ibu, Mbak Ingga, Mas Ganes pun juga dengan Banyu dalam genggaman.
Banyu, laki-laki itu. Laki-laki yang lebih dari sempurna, yang harusnya bisa bersanding dengan perempuan cantik dan sederajad dengannya. Banyu yang berhasil menumbuhkan cinta dihatiku. Banyu pula yang mematahkan satu per satu ranting beraroma cinta dihatiku.
Kata perempuan sore tadi tak bisa disalahkan. Aku hanyalah orang baru, orang yang belum mengenal Banyu sepenuhnya. Orang yang terlena, hanyut dalam hangat kasih seorang Banyu. Tanpa tahu dengan gamblang apa saja mimpi-mimpi Banyu yang lebih jelas.
Aku, aku hanyalah perempuan bau asam yang tak tahu malu masuk di kehidupan Banyu.
Aku, aku hanyalah perempuan bodoh yang berhasil masuk dalam perangkap kenyamanan yang ditawarkan gratis oleh Banyu.
Aku, aku akan mencoba mencari penawar. Menegakan kembali hatiku yang terlanjur patah sore tadi.
Aku, aku akan mencoba mengais kembali kepingan kejadian sebelum semuanya terjadi. Biar ku ambil sebagai bekal melapangkan dada. Bahwa aku masih bisa menjadi pribadi yang berbahagia seperti sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraba Rasa
RomanceMaka, diperhentian kedua. Meletakkan tiap rasa yang kemarin sempat membiru. Meragukan hati yang meminta kembali. Atas dasar arah buntu, karena memang telah sampai pada ujungnya. Meraba tiap jengkal gelap, justru menemukan terang. Hingga menyerah...