Penggalan | 1

102 5 0
                                    

-----

Bagian: Arundaya

Ada kalanya rencana yang sudah kita bangun tiba-tiba rubuh. Tapi yang namanya seorang manusia yang bernafas di bumi apa boleh buat. Aku berusaha nggak kalut. Ini udah jadi bagian dari pekerjaanku. Segera aku menjauhi tempat tidur, menguatkan kaki berjalan menuju kamar mandi. Bersiap.

Mbak Sarah- penanggung jawab devisiku tadi menghubungiku untuk segera bergegas menuju tempat demo akan digelar. Sedikit belok dari koordinasi awal yang memintaku beserta tim buat berangkat jam enam pagi.

"Kalau bisa jam lima udah sampe sana ya Ar."

"Siap Mbak."

Masa bodoh akan jam tidurku yang terpotong panjang. Kini aku udah siap menunggu jemputan di pos satpam kostanku. Walau pada akhirnya, lingkaran hitam memilih duduk angkuh di bawah mataku.

"Masuk Mbak."

Danu- salah satu satpam paling muda disini berbaik hati membukakan pintu pos satpam.

"Makasih Dan. Masih melek aja?"
Aku nggak berniat masuk. Dengan alasan biar bisa segera masuk ke mobil jemputan. Dan dengan baiknya lagi Danu ikutan duduk di sebelahku.

"Iya. Nanggung mau nerusin tidur. Berangkat kemana Mbak?"

"Ke gedung DPR/MPR."

"Oh yang demo itu?"

"Iya Dan-" Mobil datang setelahnya, menghentikan obrolan kami. "Gue otw dulu ya."

Lalu yang kutemui adalah pemandangan yang sama mengenaskannya denganku.

Bagian: Sinatria

"Welcome to the jungle sistah!"

Aku tahu dia jenis manusia seperti apa. Lalu aku tahu lagi jika dia belum dapetin tidur yang berkualitas. Aku pun. Kita sama-sama terjebak dalam lingkup pekerjaan, dimana waktu dapat memusnahkan agenda secara tiba-tiba. Tapi satu hal, tanpa adanya waktu suatu kejadian nggak akan bisa tercipta.

Seakan tahu apa yang ada dikepalaku Arun memilih menyuarakan kalimat pertamanya untuk Pak Tejo- driver kantor.

"Habis ini pulang kerumah Pak?"

"Ndak Mbak, lanjut nganter tim lagi."

"Lholah. Semangat Pak loh Tejo."

"Harus dong Mbak."

Seperti biasa Pak Tejo yang selalu riang itu, tertawa.

"Semangat juga ya lo Ar."

Langsung dibalas Arun, sedikit kecut.

"Gue mencium bau ledekan diantara kalimat lo tadi tau nggak sih?"

Aku langsung ketawa. Dibalik pandangan orang-orang tentang arogannya Arun, aku justru sebaliknya. Arun aslinya lucu, kelewat lucu malahan.

"Woles kenapa? Gue malah belum bisa merem."

Setelah itu yang aku dengar adalah nafas kasar yang dipaksa keluar dari hidungnya.

Meraba RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang