-----
Bagian: Arundaya
Susah diajak kompromi. Jadi seperti ini rasanya digoshting? Nggak jelas kedepannya seperti apa?
"Ini kameranya di taruh di sebelah mana?" Mbak Ingga keluar dari kamar membawa kamera SLR miliknya yang aku pinjam dadakan.
"Taruh sini aja mbak." Aku memintanya menaruh di atas sofa. Sementara aku masih aktif membuka beberapa e-mail penting yang masuk.
Mbak Ingga bergerak pergi lagi menuju ke kamar. Ku pikir ini kesempatan bagus, mumpung Kala sedang tidur.
"Mbak!" Kataku sedikit berteriak sambil bangkit duduk tegak dimana sebelumnya aku duduk bermalas-malasan. Mbak Ingga menoleh kaget. "Sini bentar deh!"
Mendatarkan bibir Mbak Ingga berjalan gontai mendekat. Lalu duduk mendekati toples berisi kue sus kering yang sebelumnya disuguhkan untukku. "Banyu itu siapa sih?!" Tanpa bisa lagi aku bendung wajah kesalku. Ini soal perasaan tahu.
Kunyahan Mbak Ingga berhenti. Dan dengan mudahnya dia bilang, "manusia kan?"
Bukan itu yang ingin aku dengar. "Ya iya manusia nggak mungkin Tomcat mbak... Kenapa dia mudah ngilang terus tiba-tiba muncul gitu?"
"Siapa?" Mas Ganes datang. Sepertinya dia sempat mendengar percakapan kami.
Mbak Ingga bangkit berdiri mendekati Mas Ganes yang baru aja pulang kerja. "Arlan mas. Arlan itu siapa?" Mbak Ingga mengulangi pertanyanku sambil menepuk pelan lengan suaminya dengan maksud tertentu.
"Manusia?" Katanya polos, mirip istrinya. "Mending tanya sendiri sama orangnya, tuh dia di teras" Tunjuknya dengan dagu.
Mulutku sedikit menganga. Tuh kan tiba-tiba muncul tanpa terpikirkan sebelumnya. Ku lihat pasutri itu bertelepati perihal apa aku tak tahu. Lalu menghilang di balik dapur. Dan Mas Ganes menuju ruang kerja.
Kedatangannya nggak bisa diprediksi. Padahal ini posisinya sedang di rumah Mbak Ingga loh. Ya meski pikiranku berani menjawab kalau ini ada kaitannya dengan Mas Ganes. Tapi kenapa harus ada aku disini, ditambah dengan perasaan yang seperti ini? Bisa nggak sih kalau untuk sementara tetap seperti ini aja. Biar aku tetap berargumen kalau ini adalah suatu kekhilafan paling serius yang pernah dia buat. Dan biarkan aku mengenang dalam waktu dekat dan berjuang melupakan setelahnya. Kalau memang ini benar-benar kekhilafan yang pernah kami buat?
Ijinkan aku ceritakan secara ringkas, kalau sedetail itu aku khawatir dicap lebay, seperti yang Rio katakan, meski Rio nggak tau asal muasalnya. Aku yang kurang lebih tiga Minggu ini dibuatnya seperti ababil yang baru merasakan kisah absurd-romantis-tai ayam, berharap cemas akan keberlanjutan kisahnya.
I'm sorry about this mistake. Ini lebih rumit lagi kalau boleh jujur, karena kami sama-sama udah dewasa. Bagaimana nggak rumit setelah apa yang udah terjadi malam itu, Banyu menghilang begitu aja bak ditelan pusaran air segitiga bermuda.
"Sorry, bukan maksud saya melakukan hal seperti ini." Lirihnya, seperti baru tersadar telah berbuat suatu kesalahan. "But I can't help it anymore, i think I've fallen in love with you."
What does it mean to fall in love with me?
Oh Gosh! Untung tepukan tangan pengunjung kedai waktu itu berhasil menyembunyikan keterkejutanku. Aku berdiri cepat dan menenteng ranselku sebelum semuanya pecah. "Udah malam Banyu. It's oke. Nggak apa-apa, kita sama-sama lelah. Saya pamit pulang dulu" Dan tepat saat itu petir datang seakan meminta kami segera menyudahi semuanya.
Wah ini parah! benar-benar parah. Shit for the melody performed by Rinjani Marhadichajanti. Kalau aja ditengah-tengah permainannya dia selipin melodi rock, demi Tuhan aku masih waras dan akan menentang kejadian itu terjadi. Kalau aku tahu ujungnya bakalan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraba Rasa
RomanceMaka, diperhentian kedua. Meletakkan tiap rasa yang kemarin sempat membiru. Meragukan hati yang meminta kembali. Atas dasar arah buntu, karena memang telah sampai pada ujungnya. Meraba tiap jengkal gelap, justru menemukan terang. Hingga menyerah...