-----
Bagian: Arundaya
"Apa?"
"Ya ampun sedari tadi gue ngomong nggak lo gubris?" Rio berkacak pinggang sambil mengunyah snack pedas rakus.
"Ya lo coba baikin dia aja..." Benar-benar itu bocah, enak aja aku dibilang nggak dengerin. Meski mata 'ku fokus pada laptop nggak berarti kuping 'ku apatis terhadap lingkungan sekitar dong. Cicak nyanyi aja aku bisa denger.
Rio merapatkan kedua telapak tangannya. Mohon maaf padaku.
"Kok gue ngelihat Rio seperti nggak Rio ya sampai disini?" Tambah 'ku disela aku mengetik PR dari Mbak Sarah.
Rio menggaruk hidungnya, lalu mengambil soft drink yang dia ambil dari almari pendingin. "Gue sendiri juga nggak tau Ar. Makannya gue cerita ke lo panjang lebar sedari tadi."
"Yaudah lo coba bersikap sewajarnya sama Gita. Nggak usah sok ngehindar, sok nggak mau."
"Harga diri gue terjun bebas dong Ar... Alternatif lain lah..." Rio kurang puas rupanya.
"Nggak ada! Ini udah cara paling normal, transparan, no rempong dari gue."
"Ntar gue dihina dia gimana?"
Mulai terusik, aku meminum coklat dingin buatan 'ku tadi. Ternyata Rio semenyebalkan ini hanya karena capek bermusuhan dengan Gita.
"Nggak deh. Percaya sama gue. Lo tau sendiri kalau Gita susah nangkap kode kan?" Aku lihat Rio mengangguk. "Nah tugas lo sekarang berusaha baikan mulai dari hal kecil yang umum dilakukan sama orang-orang di office. Ingat jangan berlebihan, ntar Gita ngatain lo najis lagi."
Rio menggeleng-gelengkan kepala takjub. "Siap kanjeng. Beneran ini ya? Lo kan dikit-dikit dengar bisikan dari Gita soal pemikiran & perasaannya selama ini ke gue."
"Iya. Playboy tetap playboy itu sih yang selalu gue dengar." Kata 'ku jujur.
"Astaga. Padahal lo tau sendiri kan Ar? Kalau gue bukan playboy..."
"Tapi sadboy? Anjir, gue terhibur Yo." Kemudian aku tertawa. Ya aku tahu seperti apa Rio menjalani tiap kisah cintanya. Semua berakhir tragis.
"Tahi lo Ar. Happy banget lihat gue terombang-ambing kayak gini."
"Lah makannya buruan, keburu diambil Mas Kai gigit jari entar. Gue sebenarnya merasa kalau diantara kalian itu masih saling perhatian. Cuma gue pura-pura gendheng aja."
Rio melotot mengetahui kejujuran 'ku malam ini. Ya siapa sih yang gagal ternotice kalau mereka sama-sama belum move on sebenarnya? Kalau tiap hari gelud terus. Ngatain ini lah, itu lah. Nanti kalau ada apa-apa saling kepo. Terus aku yang dijadiin sarana informasi dari mereka. Dasar!
"Gue balik dulu, udah jam dua belas."
"Oke, thanks udah dianterin ambil mobil."
"Iye. Kalau gini kan gue nggak perlu repot ngantar-jemput lo." Ejeknya sambil mengenakan jaket.
"Eh mulut lo. Tapi ada benernya juga sih. Semenjak gue tinggal disini, gue lebih sering naik TJ sama ojol ya. Ya tapi gue tetap harus bilang thankssssssss ke lo yang masih mau nolong di waktu-waktu urgent gue." Kataku mendramatisir.
"Makannya. Buruan salim dulu sama gue." Rio menghadapkan tangan kanan ke depan wajah 'ku. Udah mirip engkong-engkong aja.
"Save Drive kong." Aku menjabat tangannya udah mirip cucunya. Rio balas mendorong jidat 'ku pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraba Rasa
RomanceMaka, diperhentian kedua. Meletakkan tiap rasa yang kemarin sempat membiru. Meragukan hati yang meminta kembali. Atas dasar arah buntu, karena memang telah sampai pada ujungnya. Meraba tiap jengkal gelap, justru menemukan terang. Hingga menyerah...