Penggalan | 2

85 6 0
                                    

-----

Bagian: Sinatria

Bicara Sabtu, bicara kebebasan. Mungkin Sabtu ini aku bisa sedikit tenang, hilang sejenak dari padatnya mobilisasi pekerjaan.

“Makasih Pak.”

Mobilku memasuki kostan Arun. Sengaja menempati parkiran terdekat. Ini yang menjadi alasan Arun musti pikir panjang soal tawaran menempati apartemen Mbak Ingga.

Saking homey-nya ngebuat dia susah berpaling. Termasuk aku yang setuju akan alasan dia.

Tipikal kost elit pada umumya, namun punya kelebihan pada design yang membangun suasana hangat dan nyaman. Bersih, simpel, keamanan yang kuat. Tanaman hijau berjajar dimana-mana, aksen kayu dan bambu ikut mengikat tiap langkah urung pergi.

Jangankan Arun, serangga-serangga kecil yang terbentuk dalam suatu ekosistem disini enggan pergi jauh-jauh.

“Pagi Mbak... Iya mau bertamu di unitnya Arun.” Kedatanganku langsung disambut sama resepsionis disini.

Sebagian besar mereka udah kenal aku karena keseringan mampir-mampir kesini. Cuma ya peraturan tetap peraturan.

Aku memasuki lift menuju lantai delapan. Lantai paling tinggi dimana Arun tinggal disana.

Dering ketiga baru terangkat.

Wait Yo. Naik aja.”

“Gue udah didepan pintu lo neng...”

Arun tertawa. Beberapa detik kemudian pintunya terbuka.

Sebenarnya aku dikasih kartu bebas akses masuk ke unitnya, tapi sengaja aku nggak manfaatin itu. Karena ada pemiliknya didalam yang bisa ngebukain aku pintu dan biar bisa berlama-lama diluar. Membiarkan penghuni kostan cewek disini menikmati kehadiranku.

“Gue udah kayak mau diterkam penghuni cewek disini tau nggak Ar?”

Arun mengerutkan dahi. Sembari memakai sepatu.

“Mulai deh mulai. Semalam lo nggak minum kan?”

Seakan paham akan arah pembicaraan ini. Aku jamin Arun akan mengatai ku sebagai cowok yang excessive narcissistic lagi.

“Ya kan lo tahu sendiri seberapa antusiasnya mereka tiap kali gue kesini. Btw, apa kabar mereka yang ngejar-ngejar gue?”

Arun bangkit berdiri dan menjinjing tas berisikan perlengkapan bermain bulutangkis.

“Apa kabar hati yang lo patah-patahin. Nggak lucu tau tiap bulan mereka datang nangis-nangis terus curhat sampai pagi.”

Aku tertawa terbahak-bahak. Kalau nggak cocok mau gimana lagi ‘kan? But, thanks Ar mau ngeladenin mereka yang sedang patah hati. Ngebukain pintu, nenangin mereka yang terluka atas perilakuku.

Saking baiknya, mau aja nerima getah dariku. Sekali lagi, arogannya Arun itu hanya berlaku saat dia mencoba beradaptasi di circle baru.

Bagian: Arundaya

Berasa lega aja kalau berhasil ngeluarin keringat sebanyak ini. Berasa enteng jiwa, raga dan pikiran. Sama halnya detox, berolahraga bisa mengembalikan kewarasanku. And thanks to Rio yang dua tahun ini jatuh cinta sama bulutangkis selain futsal. Nggak tahu juga kalau dia aslinya terpaksa, but agaknya dia enjoy-enjoy aja mainnya, nggak kelihatan wajah muaknya.

Meraba RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang