Bagian: Arundaya
Hujan masih deras menyambut kepulangan Banyu. Minggu dini hari aku nekat datang ke rumah sakit. Meski Banyu berulang kali melarang ku. Aku tak mempermasalahkan soal waktu dan keadaan saat ini. Yang penting Banyu bisa segera pulang tanpa susah-susah cari ojol. Dan sesuai kesepakatan diawal kalau aku yang bakalan jemput Banyu untuk pulang.
Hampir satu jam aku menunggu di dalam mobil yang aku parkir di depan gedung A rumah sakit ini. Sempet tidur-tidur ayam juga, habisnya cuaca sangat mendukung untuk berhibernasi. Akhirnya seseorang datang mengetuk kaca mobil bagian belakang, sukses membangunkan ku.
Banyu masuk dan mendudukkan diri di kursi kemudi. Tadi sempat ada perdebatan ringan soal permintaanku buat nyetir. Sayang sekali kemenangan ada di pihak Banyu. Bagaimana aku bisa tega kalau Banyu beneran akan jalan kaki sampai apartemen?
"Biar saya yang nyetir Arun... Atau saya jalan kaki aja dari pada saya merasa bersalah ngebiarin perempuan saya nyetir tengah malam, hujan pula"
Sepuluh menit kita sampai. Banyu mendorong koper, menggendong ranselnya, dan satu lagi menggandeng tanganku sepanjang perjalanan menuju unitnya.
Belum ada obrolan yang berarti sih diantara kita. Mungkin Banyu berfikir kalau bukan sekarang waktu yang tepat buat ngobrol lama-lama. Dan aku tahu kalau Banyu sungguh lelah.
Banyu udah membersihkan diri dan berganti pakaian santai ketika berjalan menuju sofa dimana aku udah menyuguhkan teh hangat dan beberapa toples cemilan di meja.
Aku terkejut karena tiba-tiba Banyu mengambil tanganku untuk dipeluk didepan dadanya setelah dia duduk persis disampingku.
Matanya terpejam dengan senyum tipis yang mengembang. Membuatku ikutan senyum setelah mengalami keterkejutan ini.
Masih saja diam. Banyu mempererat pelukanya pada tanganku. Mengambil posisi ternyamannya dengan menidurkan kepalanya pada kepala sofa.
"Tolong temani setengah jam aja. Kalau udah, nanti saya antar kamu pulang."
Banyu versi lelah yang nggak ketulungan ternyata seperti ini. Kasian-lucu-unyu-manja-ganteng melebur jadi satu.
"Iya, dinyenyakin aja dulu tidurnya."
Yang terdengar hanyalah nafas halusnya. Menunjukkan kalau dia benar udah tidur. Menyisakan aku yang kini dihujani banyak sekali pemikiran tentangnya. Tentang kita.
Sebenernya aku kasian dengan posisi tidurnya yang duduk seperti ini. Surabaya-Jakarta naik kendaraan jenis elf bukan merupakan hal yang nyaman menurutku.
Lama berselang dalam keterdiaman, Banyu tanpa sadar menjatuhkan kepalanya di bahuku. Benar-benar lelap deh kalau begini. Ingin menggagalkan setengah jam yang dia janjikan. Aku mencari cara untuk dapat menidurkan Banyu dalam posisi telentang. Kebayang nggak sih itu punggung butuh merebah?
Perlahan tapi pasti aku menggeser, mendorong, menenangkan, memindahkan Banyu agar mendapat posisi yang nyaman di sofa ini. Beberapa kali Banyu terusik dan beberapa kali juga tanganku dipeluknya makin erat. Akhirnya Banyu mau menurut untuk tidur dengan benar.
Melepaskan tanganku darinya merupakan hal tersulit dalam misi kali ini. Ketika udah berhasil aku cepat-cepat mengambil selimut dan bantal untuknya. Lalu memasangkannya agar Banyu tidur lebih nyaman.
Memandanginya dari dekat merupakan hal pertama bagiku. Aku baru tau kalau Banyu memiliki tahi lalat kecil di ujung kelopak mata kirinya. Banyu memiliki bulu alis cukup tebal tak beraturan namun terbentuk dengan rapi. Bulu matanya juga lumayan lebat meski tak begitu lentik sehingga bisa menyeimbangi downturned eyes miliknya. Jangan lupakan juga soal kantung mata dan dark circle eyes Banyu yang susah hilang. But no prob, aku paham pekerjaan mulia yang dia emban seperti apa. Tapi aku juga sedikit jengkel juga karena Banyu suka lalai buat rutin pakai eye cream pemberianku. Sepertinya dia nggak terlalu mempermasalahkan soal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraba Rasa
RomanceMaka, diperhentian kedua. Meletakkan tiap rasa yang kemarin sempat membiru. Meragukan hati yang meminta kembali. Atas dasar arah buntu, karena memang telah sampai pada ujungnya. Meraba tiap jengkal gelap, justru menemukan terang. Hingga menyerah...