Penggalan | 12

68 3 0
                                    


-----

Bagian: Arundaya

The day with many problem. Sepertinya itu bisa jadi judul cerita hidup 'ku seharian ini. Aku menghembuskan nafas berat sebelum pintu lift terbuka seluruhnya. Hingga dentingnya menghentikan 'ku di lorong apartemen yang masih jadi milik Mbak Ingga-Mas Ganes. Belum jadi milik 'ku seutuhnya.

"Arun."

Sampai aku benar-benar nggak punya mood sekedar mengangkat kepala. Tapi, baiklah senggaknya aku harus tetap ramah meski aku pinginnya marah.

"Iya. Eh Banyu?"

Banyu tersenyum lebar. Berbeda dengan bibirku yang cenderung datar dibalik masker yang aku kenakan. Bukan sedang flu, lebih tepatnya aku nggak pede dengan wajah yang berantakan seperti ini. Jika kalian seorang perempuan, kalian pahamilah apa yang aku maksud.

"Iya. Kok bisa disini?"

"Oh, lagi dalam masa uji coba tinggal di apart Mbak Ingga, siapa tahu betah" Jawab 'ku jujur.

"Well. Saya turun dulu ya Ar. Kalau butuh bantuan chat saya aja. Sebagai tetangga, saya lebih berguna kalau bisa ngebantuin tetangga saya." Pesannya terdengar tulus.

"Oke oke, thanks before Banyu." Kata 'ku menutup. Karena untuk menanyakan tujuan dia, aku masih merasa belum saatnya berkepo.  Meski aku bisa menangkap sinyal jika sepertinya Banyu ingin kami jadi selayaknya teman. Meski kami nggak seakrab itu kelihatannya.

Dengan hormat aku tetap berdiri hingga lift tertutup membawa Banyu turun bersama ransel yang ia gendong.

Sumpah, manusia itu bener-bener kelihatan tanpa cela. Ramah, baik, sopan, tambahan lagi deh. Ganteng. Well, yang terakhir jangan coba dibayangkan. Ganteng itu relatif kan? Sama seperti yang orang-orang bilang.

Apa tadi dia kata, tetangga? Penyebutannya terdengar socialable. Fix semasa hidupnya pasti dia banyak disayangi orang-orang di sekelilingnya.

Terus apaan lagi ini. Aku yang awalnya merasa bad parah, kini jadi lebih mendingan setelah ketemu Banyu. Benar-benar ya itu anak, berhasil mengacaukan my first judge for him. Pembawaannya dominan positif. Jadi semakin berasa bersalah bin malu karena dulu terlalu membencinya.

Riskan memang, terkadang kita terlalu pede beropini menyebut seseorang buruk meski faktanya sebaliknya. Kepala 'ku menggeleng pelan di depan laptop yang sebenarnya ingin cepat-cepat aku tutup. Sabar, sebentar lagi kelar. Tinggal klik send ke Mbak Sarah, kelar deh kesemrawutan job disc hari ini.

Bel berbunyi. Dengan malas aku berjalan gontai. Pintu terbuka, menampilkan sosok Banyu. Belum sempat aku bertanya, sepertinya Banyu ingin cepat-cepat.

"Siapa tahu butuh teman" Dengan ramahnya dia memberikan cup berisi coklat kocok. Dari labelnya sih dia beli di coffe shop depan, Atlas Cafe. Segera aku meraihnya dengan menunduk sopan. Baik banget kan?

Banyu langsung pamit rupanya. "Udah lewat tengah malam. Saya pulang dulu."

"Oh iya iya. Thanks before again Banyu." Dan dia berjalan menuju unitnya yang berada diseberang lantai ini.

Lantas? Maksudnya teman tadi apa? Mata ku mengawang keatas. Paham, jika coklat kocok ini maksudnya. Kembali aku tersenyum sambil menutup pintu.

Bagian: Arlanta

"Boleh. Banyak makan ikan segar. Karena kaya protein. Terus lukanya dirawat dengan baik. Diupayakan tetap bersih, moist. Nanti saya resepkan untuk membeli madu buat penyembuhan luka."

Meraba RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang