Penggalan | 22

15 1 0
                                    

Bagian: Arundaya

Ibu berubah begitu cerewet sejak semalam hingga sekarang. Berbanding terbalik dengan ayah. Ayah begitu santai seperti ayah biasanya. Sesekali ibu masuk ke kamar, sekedar melihat sejauh mana proses make up ini sampai mana. Dan berulang kali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Dengan pertanyaan 'kamu udah siap kan?', 'Banyu sampai mana, terus di hubungi ya', 'makan minum dulu', 'jangan banyak gerak, nanti luntur'. Begitu banyak ucapannya, mirip kicauan burung di luar sana.

Mbak Rinda, menyapukan kuas di sekitaran dada dan leherku. Aku takjub melihat hasil keuletan tangannya.

"Cantik! Ada yang mau di revisi?"

"Udah mbak, udan sesuai. Menor nggak sih mbak?" Entah kenapa, tiap kali menjalani sesi make up aku merasa khawatir di nilai menor sama orang-orang. Padahal menurut kapasitas seorang perias, riasan ini adalah jenis riasan natural look.

"Nggak sih beb menurut aku, ini natural look seperti yang mbak Arun minta. Cantik gini kok, natural, elegan. Mas Banyu bakal makin cinta sama mbak!" Sanggahnya dengan kemayu memainkan jari lentiknya.

Sontak aku berdiri di depan cermin almari. Mengenakan kebawa soft brown dengan jarik motif burung warna senada. Membuat rasa percaya diriku meningkat. 'Cantik juga gue', gumamku dalam hati. Handphone ku berdering. Ada nama Banyu disana. Mbak Rinda masih membereskan alat perangnya. Sedikit menjauh aku mengangkat panggilan Banyu.

"Iya"

"Dipercepat?"

"Nggak usah bercanda"

"Nggak mau, kejutan"

"Mulai"

"Iya safe drive ya"

Telepon Banyu dimatikan. Masih bisa ya Banyu bercanda di situasi seperti ini. Ingin mempercepat acara supaya bisa segera diikat dalam cincin pertunangan. Ingin video call supaya bisa melihatku secantik apa. Katanya lagi, Banyu udah nggak tahan lagi. Nggak tahan menahan lapar dan nggak tahan ingin segera melihatku. Katanya, dua-duanya ingin segera Banyu makan. Aku sedikit mengacuhkan, Banyu akhirnya mengakhiri semuanya dan pamit melanjutkan perjalanan yang sebentar lagi akan tiba di rumahku.

Mbak Rinda pamit pulang sekalian menghampiri rekannya yang satu di ruang tengah sedang merias ibu dan keponakan-keponakanku.

Mendekati jam lima sore. Aku gugup. Melakukan gerakan berulang dari duduk, berdiri diatas cermin, mengulurkan tangan untuk latihan penyematan cincin. Begitu terus sampai setitik dua titik peluhku jatuh.

Handphone ku berdenting. Notifikasi pesan dari Banyu masuk. '10 menit lagi sampai sayang'. Disusul dengan ibu yang masuk ke kamar bersama empat keponakanku yang semuanya cantik, ganteng dan menggemaskan.

"Diberikan kelancaran ya Ar..." Ibu mengusap lenganku yang sedikit kasar karena kain kebaya.

"Amin,"

"Ibu keluar dulu ya, cantik..." Ibu keluar kamar meninggalkanku dan para keponakan yang nanti mengiringku ke depan.

Aku terus-terusan berdoa. Kalian tau nggak bagaimana perasaanku saat ini? Campur aduk, di dada rasanya penuh. Seakan semua emosi masih ingin berkumpul di dalam. Sampai menunggu waktunya bisa keluar. Nanti, saat Banyu sampai, aku yakin diri ini bisa jauh lebih lega.

Suara diluar kamar semakin riuh. Banyu dan keluarga mungkin udah datang. Handphone ku kembali berdenting. Pesan Mbak Ingga masuk 'Lancar ya Ar, God bless you two'. Ya, benar, kakakku itu nggak bisa hadir disini. Terlalu singkat waktu yang dia dapatkan dari ijin cuti yang dia ajukan. Tapi dia, Kala dan Mas Ganes selalu mengawal dan mendoakan acara ini dan hubungan selalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Meraba RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang