Penggalan | 9

81 2 0
                                    

-----

Bagian: Arundaya

“Kalaaaaaaaa” Sampai di dalam rumah Mbak Ingga aku langsung menyapa bayi lucu itu. Sengaja mengeraskan suara dan membuat nada ala seriosa. Nggak peduli kalau Mbak Ingga bakal marah-marah.

“Kala mana Mbak?”
Penghuni pertama yang aku temui adalah Mbak Ingga yang sedang duduk di kursi teras taman belakang sambil menekuri laptop dan tumpukan kertas. Orang ini kalau udah fokus sama satu hal, ada petir bersaut-sautan pun dia nggak peduli.

“Kala mana Mbak?”

“Kamu? Oh Kala sama ayahnya. Biarin mereka main mumpung sorenya bagus dan ayahnya ada waktu.”

“Oh.” Aku cukup mengangguk. Dan aku tahu jenis kalimat dalam jawabannya itu. “Malam ini aku nginep sini.” Setelahnya aku pergi menuju dapur.

Aku menghabiskan satu gelas jus mangga buatan Mbak Ingga. Free sugar tentunya. Kebayang bukan gimana kolaborasi antara tuan dan nyonya berkaitan dengan hal berpegang teguh pada nilai-nilai hidup sehat.

Hampir aja senja hilang ditelan malam Kala kembali dengan ayahnya. Aku yang mulai bangkit berdiri dijeda dulu sama Mbak Ingga,
“Tadi kamu kesini naik apa? Atau diantar siapa?”

“Oh. Sama Banyu.” Segera aku bangkit berjalan menuju Kala yang sudah girang melihatku, “Kalaaaaaaaa”

“Sama siapa? Banyu?” Gantian Mas Ganes yang bertanya. Aku buru-buru mengambil Kala dalam gendongan Mas Ganes. Kegiatan selanjutnya ya menciumi seluruh jengkal wajah Kala yang dibalas dengan tawa geli Kala. Menggemaskan. Tanpa aku tahu jika pasutri itu saling berpandang melempar tanya dalam diam.

Heem Banyu temen Mas Ganes.” Aku menerangkan lebih detail, sebisaku dan setahuku.

“Kok bisa?” Mas Ganes kembali bertanya.

Aku menggedikkan bahu, bukan karena nggak tahu tapi lebih ke- aku juga nggak paham kenapa Banyu mau mengantarku?

“Awas aja kalau kamu memanfaatkan Arlan gara-gara kamu mau balas dendam soal kejadian yang dulu!”

Balas Mbak Ingga, dengan wajah yang mulai sinis dan I don’t care about that, because Kala more than enough dari pada harus menimpali crazy announcement-nya Mbak Ingga.

Mbak Ingga sih cenderung nethink soal apa-apa yang baru ku lakukan. Ya maklum karena rekam jejak masa kecilku, akulah si bungsu yang bandelnya minta ampun. Siapa yang merusak duniaku, aku nggak takut buat balik merusak dunianya. Tapi untuk sekarang, aku masih tetap seperti itu  namun menipis kadarnya. Jika orang tersebut benar-benar nggak bisa ditoleransi, lihat aja apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelahnya yang aku dengar adalah suara tawa Mas Ganes yang mampu mendeskripsikan sejauh mana dia tahu tentang hubunganku sama Mbak Ingga, termasuk sedikit banyak tentang sifat kami yang kontras.

Aku yang menyadari itu membisikkan kalimat perjuangan pelan dan penuh penekanan tepat ditelinga Kala “Jadi pemberontak demi kebaikan terkadang perlu kamu lakukan, Kala!” Dan aku yakin kedua orang tuanya nggak bisa mendengarnya.

Bagian: Arlan

Adrenalinku berdesir begitu kuat. Menghadapi operasi kanker Paru-paru stadium II bukanlah hal yang cukup mudah. Risiko cukup tinggi. Nyawa pasien pertaruhannya. Ventilator dengan alat-alat untuk intubasi udah kami persipakan sebagai antisipasi perburukan kondisi.

Meraba RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang