Penggalan | 3

77 4 0
                                    

-----

Bagian: Arlanta

Selesai melakukan pengangkatan kanker di kolon pasien perempuan berusia 47 tahun aku segera keluar dari ruang bedah nomor 7 yang memang sering digunakan untuk untuk pasien dengan kanker.

Operasi berjalan dengan lancar bahkan dapat selesai lima belas menit lebih awal dari waktu yang telah ditentukan saat sign in. Seperti biasa aku segera mencuci tangan.

Melakukan dokumentasi dan bersiap untuk operasi selanjutnya.

“Lanjut siapa lagi Pak?” Tanyaku sambil terus menulis di buku besar yang dikhususkan untukku mencatat segala hal yang berhubungan denganku dan pasien disana.

“Tn. I, 59 tahun dengan BPH program TURP” Jawab Pak Hanung- satu dari sekian senior perawat bedah disini yang juga ikut menulis resume di bukunya.

Kemudian aku menoleh ke dinding sampingku dimana ada papan tulis putih besar. Terdapat jadwal semua program operasi di perlihatkan di sana. Baiklah tinggal satu pasien lagi.

“Oke. Nanti saya sama siapa? Mas Jodhi ya?” Tanyaku dan jawabku memastikan dari data di papan tulis tadi.

“Iya Jodhi dok. Dokter nggak mau makan siang dulu? Masih ada waktu tiga puluh menit lagi lho?”

Aku menyandar ke punggung kursi. Baru ingat ternyata sejak pagi aku belum makan apapun selain permen rasa mint yang entah udah berapa bungkus berhasil menunda rasa lapar.

Udah jadi kebiasaan, menjadikan permen senjata tutup lambung yang minta diisi.

“Oh ya?” Aku langsung melihat jam kayu kecil di bawah meja hampir menunjukkan angka tiga. “Ah nanti aja, sekalian merampungkan yang satu ini.”

Lagi-lagi aku memilih yang menjadi prioritas. Bukan berarti seakan menyiksa diri, lebih kepada profesionalisme. Karena pasien sudah menunggu di ruang pre-operasi sejak siang tadi.

“Kebiasaan deh dokter.”

Perawat Mitha yang seumuran denganku ikutan nimbrung setelah muncul dari arah ruang khusus kami beristirahat. Nggak ada yang bisa tenang-tenang disini, aku yakin Mita baru aja isi energi. Setelah berjam-jam berdiri, bekerja sesuai tugas.

“Mitha tahu banget. Sekalian Mit, mumpung masih on fire ini. Takut ngantuk setelah makan.” Balasku santai sambil memijat bahu kananku yang kian berat.

Lima menit yang lalu pasien sudah di pindah dari ruang pre-operasi menuju kamar bedah nomor delapan khusus operasi kecil seperti BPH.

Segera memasuki ruangan setelah mencuci tangan. Menyapa sejenak pasien yang mengalami ansietas sebelum obat anestesi mengalir dalam vena-nya.

Salah satu perawat membantuku memakai jubah OK warna hijau. Selanjutnya aku memakai sarung tangan bedah yang lebih panjang dari sarung tangan di ruang lain. Sambil mendengarkan juga menanggapi perawat lainnya yang membacakan lembar sign in. Hingga clear, dilanjutkan dengan berdoa bersama sebelum tujuan utama ini dimulai.

Tanganku sudah siap dengan
resectoscope lalu mengecek empat tampilan layar monitor di depanku. Disambut dengan time out yang dibacakan oleh perawat sirkuler hingga selesai.

Aku pun segera memasukkan resectoscope perlahan menuju prostat pasien melewati lubang uretra pasien. Sambil terus melihat layar monitor di depanku yang tersambung dengan kamera pada resectoscope. Kini sudah berada di lokasi target.

Semudah apapun jenis operasi yang kita lakukan berkat kuantitas yang cukup banyak. Tetap aja nggak menyurutkanku untuk first, do no harm- Hippocrates yang selalu aku pegang teguh mulai dari aku duduk di bangku kuliah hingga saat ini.

Meraba RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang