SEASON 6 *MALL JAKARTA*

1.3K 109 5
                                    

***.....(another stories which disconnected)...

                Hari kedua bekerja. Aku akhirnya bertemu dengan calon bosku. Namanya Bu Indri. Penampilannya sederhana, rambutnya lurus sepunggung dan dicat warna pirang. Tubuhnya langsing, orangnya juga cantik. Dia menjelaskan kepadaku kalau nanti kerjaku bagus, gajiku bisa naik.

Tanpa ragu-ragu aku juga bilang kepadanya kalau mau sambil kuliah. Untung saja ia tidak melarang. Ia malah mendukungku. 
“Ibu senang kalau kamu punya semangat untuk terus sekolah. Nanti bisa Ibu atur jadwal kerjanya,” katanya dengan ramah. 
Bu Indri tidak berlama-lama di kios itu. Ia memberiku uang dua ratus ribu. Katanya biar aku semangat kerja. Tentu saja aku senang. Tidak lama setelah Bu Indri pergi, pengunjung mulai ramai. Aku sibuk membantu Bi Risma menyajikan pesanan, sementara Tio mengantarkannya ke pelanggan. 

Namun, ketika sedang sibuk menyajikan makanan, dari balik etalase, mataku menangkap seorang lelaki yang berjalan dengan cara tidak biasa. Kedua tangannya bersedekap. Ia meloncat-loncat seperti pocong.

Beberapa orang yang melihatnya tertawa. Mereka menganggap lelaki itu sedang bercanda. Tapi, entah kenapa saat itu aku menganggapnya serius. Sampai-sampai piring yang ada di tangan, aku letakkan begitu saja. Aku beranjak keluar dari kios.

“Inun mau ke mana?” tanya Bibi.
Aku tidak menjawab. Langkah dan mataku terus mengikuti lelaki itu. Semakin dekat, kudengar dia berteriak. 

Pesugihan pocong! Pesugihan pocong!”

Lelaki itu berseragam. Tampaknya ia pegawai salah satu kios di food court ini. Ia seperti sedang dikendalikan sesuatu. Sesaat kemudian, lelaki itu berhenti meloncat. Dia naik ke pembatas kaca. 

Semua orang yang tadinya tertawa, sekarang malah berteriak. Tanpa ancang-ancang lagi lelaki tersebut loncat ke bawah. Semua yang menyaksikannya berteriak histeris. Tubuh lelaki itu remuk dan kepalanya pecah. Darah segar mengalir perlahan membasahi lantai dasar. Ia tewas mengenaskan.

“Jangan heran. Setiap tahun suka ada yang mati di mal ini," kata Tio sambil terus main HP.

“Masa sih?” aku mengerutkan dahi.

Aku dan Tio duduk di depan Kios yang sebentar lagi tutup, kami sedang menunggu pelanggan setia kami yang suka datang setiap malam. Bi Risma terlihat masih sibuk menghitung pendapatan untuk hari ini.

“Iya, sini,” Tio memintaku untuk mendekatkan daun telinga, ia hendak membisikkan sesuatu.

“Di mal ini banyak pesugihannya.”

“Hah!” aku terkejut.

“Kios kita juga dong?” tanyaku.

Tio mengangguk, ia kembali memainkan HP-nya.

“Kamu tahu dari mana ada pesugihan di sini?”

“Lihat aja nanti hari Jumat.”

Aku semakin penasaran apa yang akan terjadi di hari Jumat. Tidak lama kemudian, aku mendengar suara langkah rombongan anak-anak itu, mereka tak lain adalah pelanggan setia kios kami. Suara berisik terdengar di lorong lift sebelum tubuh mereka terlihat. Aku dan Tio bangkit dari duduk kami dan bergegas masuk ke dalam kios, bersiap melayani mereka. Seperti biasa, kami sibuk melayani mereka yang jumlahnya entah berapa. Mereka semua anak muda yang berpakaian kekinian.

Tidak butuh waktu lama, dagangan kami ludes. Satu per satu mereka mengantre untuk bayar. Aku membantu Bi Risma menghitung harga per porsi, sedangkan Tio membereskan meja makan. Setelah semuanya selesai, mereka langsung pergi.

***

Di hari Jumat, seperti yang dikatakan Tio kalau aku akan menyaksikan sebuah bukti kalau di mal ini ada pesugihan. Sebelum kios tutup, tidak biasanya Bu Indri datang. Ia menanyakan pendapatan hari ini juga kami masing-masing tiga ratus ribu.

“Ini buat jajan,” kata Bu Indri sambil tersenyum ramah.

Aku, Tio, dan Bi Risma menerimanya dengan senang hati. Setelah menerima uang itu, Bi Risma langsung mengajakku pulang tanpa menutup kios terlebih dahulu. Aku manut saja tanpa banyak tanya, sementara Tio mencolek lenganku. Ia memberi isyarat untuk tidak pulang dan melihat apa yang akan di lakukan Bu Indri di dalam kios.

Kebetulan sekali, saat kami sedang menunggu lift, handphone Bi Risma berbunyi. Itu jelas dari pacarnya, lelaki itu sudah menjemputnya di bawah. Mereka akan jalan-jalan, Bi Risma menyuruhku untuk pulang sendiri. Aku mengiyakannya.

Setelah sampai di lantai dasar dan melihat Bibiku pergi dengan pacarnya, aku dan Tio naik lagi ke atas. Aneh! Ada beberapa kios yang tadinya sudah tutup, sekarang dibuka kembali.

“Lihat. Kios-kios yang buka itu,” Tio menunjuk ke jajaran kios.

“Pemiliknya lagi sajenan,” lanjut Tio.

"Sajenan untuk apa?"

"Penglaris," jawabnya singkat.

“Ayo,” ia menarik lenganku.

Kami perlahan mendekati kios tempat kami bekerja. Pelan-pelan, kuintip dari balik dinding kios. Sayangnya aku tidak dapat melihat Bu Indri karena terhalang oleh meja kasir. Tapi, tak lama kemudian aku mendengar ketawa seorang anak kecil dari dalam kios, juga langkah kaki berkeliaran di dalam.

“Inun, lihat itu!” Tio menepuk pundakku, ia menunjuk ke arah salah satu kios yang jaraknya tidak jauh dari kami.

Tidak sengaja aku menjerit ketakutan lantara ada sebuah kios makanan yang dipenuhi oleh pocong. Entah berapa jumlah pocong di dalam kios itu, pocong-pocong itu berjejalan memenuhi ruangan.

“Jangan berisik nanti ketahuan.”

Tio panik, dia menarik lenganku, mengajak pergi dari tempat itu. Namun, sebelum kami pergi tiba-tiba terdengar suara seseorang menyapa kami.

“Kalian belum pulang?”

Itu Bu Indri.

“Be... belum, Bu,”

Tio ketakutan.

Aku bahkan gelagapan dan tidak bisa mengucapkan apa pun.

“Hayo mau ngintip saya, ya?” tanya Bu Indri dengan nada seperti bercanda. 
“Enggak kok, Bu. Saya tadi mau nganter Inun yang kunci kontrakannya ketinggalan. Eh, ternyata ada di kantong jaketnya. Iya kan Nun?” Tio berbohong.
“Nun!” Tio menepuk pundakku. 
“I... iya, Bu.” 
“Ya sudah sana pulang. Udah malam, lho.”
“Iya, Bu. Kalau gitu kami pamit.”
Kami bergegas pergi. Sesekali aku menoleh ke belakang dan melihat Bu Indri masih berdiri sambil melihat tajam ke arah kami. Segera kami percepat langkah. Malam itu aku merasa sangat mencekam. Aku penasaran pesugihan apa yang dilakukan Bu Indri?

***........(other stories which disconnected)....

Kumpulan Cerita Pesugihan Penglaris DaganganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang