SEASON 4 [ Jadi Indigo itu gk enak (budaya penglaris) ]

3.7K 192 11
                                    

Sore itu kami mengunjungi sebuah rumah di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, kami pun tiba di bangunan bernuansa serba putih. Kedatangan kami disambut Kadek Ariani, praktisi supranatural yang sering berurusan dengan pelaris dagangan makanan.

Dengan hangat ia mempersilakan kami masuk. Kadek lantas membuka perbincangan soal pelaris yang santer terdengar di kalangan masyarakat Indonesia. Pelaris adalah istilah yang dikaitkan dengan hal-hal mistik dan dipercaya mampu mendatangkan keuntungan serta kelancaran bagi sebuah bisnis, khususnya warung makan.

Bagi Kadek, praktik penggunaan bumbu mistis pelaris bukan mitos belaka. Ia beberapa kali berurusan dengan hal semacam itu. Pengalamannya di sebuah rumah makan di Kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur, misalnya.

"Waktu itu saya mau makan sayur asem di warung yang memang terkenal dengan sayur asemnya. Nah, pas lagi mau menyendok kuahnya, saya melihat kepala di dalam mangkuk sayur asem tersebut," ungkap perempuan paruh baya itu kepada kami.

 Nah, pas lagi mau menyendok kuahnya, saya melihat kepala di dalam mangkuk sayur asem tersebut," ungkap perempuan paruh baya itu kepada kami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menyaksikan penampakan tersebut, ia sontak mengurungkan niat untuk menyantap hidangan itu. Usut punya usut, menurut Kadek, warung makan tersebut menggunakan sejenis tumbal agar usahanya semakin laris manis.

Pengalaman yang mirip juga ia alami di tempat makan bubur di Kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Saat hendak menyantap bubur hangat di sana, Kadek melihat pembalut perempuan dalam hidangan bercita rasa gurih tersebut.

"Kebetulan teman saja juga bisa melihat (hal gaib). Karena enggak enak sudah dipesan, akhirnya kita putuskan untuk membungkusnya dan membuangnya di jalan," kenang Kadek sambil tertawa.

Penggunaan pelaris, ujar Kadek, tak cuma berfungsi sebagai pemikat agar usaha warung makan semakin laris manis. Pelaris juga bisa digunakan untuk membuat bisnis pesaing mengalami gangguan.

Kadek menceritakan pengalamannya membangun usaha warung makan yang dirintis sejak 2009. Suatu ketika, bisnisnya itu tidak mulus karena gangguan mistis.

"Awalnya warung saya itu laku banget, istilahnya tidak pernah ada makanan yang tersisa. Seberapa pun saya masak pasti habis. Terus kalau saya ada di situ juga pasti laku, tapi kalau enggak ada ya standar-standar saja," tutur Kadek.

Tiba-tiba, warung makan yang berlokasi di daerah Jayabaya, Jakarta Timur, itu sepi pengunjung. Beberapa lauk-pauk yang ia jajakan sering tak laku terjual. "Dari penglihatan saya, saya melihat ada sosok kakek-kakek dengan kaki borokan. Dia tiduran di depan warung saya," lanjut Kadek.

Kakek-kakek tersebut, menurut dia, sengaja dikirim pesaing agar warung makannya sepi pengunjung. Tak hanya itu, Kadek yakin sosok kakek itu pula yang membuat warungnya menjadi tak terlihat oleh manusia biasa.

"Jadi orang tuh ngelihat warung makan saya tutup gitu, padahal buka. Pernah ada pelanggan yang telepon katanya warung saya tutup, padahal mah warung makan saya buka," Kadek menuturkan.

Pelaris dagangan, menurutnya, ada dua macam. Pertama, pelaris dagangan yang masuk dalam pesugihan hitam (melibatkan tumbal) atau kedua pelaris pesugihan putih (tanpa tumbal).

"Pembeda lainnya juga terlihat sangat jelas, kalau pelaris biasa (tanpa tumbal) itu lakunya enggak terlalu maksimal, tetapi kalau pelaris yang melibatkan tumbal lakunya nonstop," ungkap Kadek.

Kadek mencontohkan salah satu rumah makan di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur, yang menggunakan tumbal agar usahanya kian laris manis.

"Tumbalnya itu dari pegawai-pegawai yang bekerja di sana. Yang saya lihat, mereka itu sering mengganti-ganti pegawai, karena pegawai sebelumnya ditumbalkan," tambahnya.

Dari penuturan Kadek, pegawai yang menjadi tumbal tersebut adalah yang paling disayang atau dipercaya, "Biasanya si pegawai itu akan sakit, terus disuruh pulang ke tempat asalnya dan di sana dia akan meninggal," papar Kadek.

Menurut paranormal Ki Kusumo, tak sedikit tempat makan berkonsep modern yang menggunakan jasa pelarisan. "Kita tidak bisa melihat modern atau tidak modern. Mereka percaya, karena latar belakang itu berkaitan dengan budayanya," Ki Kusumo menjelaskan.

Tradisi mempercayai pelaris sebenarnya sudah muncul sejak berabad-abad silam, terutama ketika muncul transaksi niaga pada masa kuno. Pelaris pun makin populer ketika sistem monetasi atau uang diperkenalkan dan menjadi bagian dari budaya ekonomi masyarakat Indonesia pada abad ke-19.

"Sebetulnya dalam budaya dagang khususnya dalam bidang kuliner sudah melekat dengan yang namanya atau istilah pelaris," begitu penjelasan Fadly Rahman, sejarawan kuliner sekaligus dosen sejarah di Universitas Padjajaran.

Kemunculan bisnis-bisnis yang melibatkan praktik mistis seperti pelaris bahkan dikaji seorang peneliti dari Belanda, Peter Boomgaard. Dalam bukunya yang berjudul 'Kekayaan-Kekayaan Haram Indonesia', ia membedah praktik klenik dalam transaksi niaga dengan menggunakan sarana seperti memelihara tuyul.

"Percaya atau tidak, nyata atau tidak, ternyata memang sudah dilakukan lama sejak masa-masa abad ke-19. Untuk menarik perhatian pembeli supaya laris bahkan menjatuhkan lawan usahanya, ternyata ini sudah dilakukan dan dijelaskan dalam penelitian itu," kata Fadly.

Setiap daerah, punya corak tradisi pelaris yang berbeda. Di Jawa, misalnya, ada kepercayaan menggantungkan sarang burung yang berisi perkutut bisa membawa berkah dan membuat dagangan laku keras.

Budaya Sunda, Melayu, dan kawasan di Timur juga punya tradisi lokalnya masing-masing. Itu sebabnya, ada pencari pelaris yang sampai pergi ke pegunungan sakral untuk bertapa dan memberikan sesaji. Ada pula kepercayaan terhadap larangan menaruh benda-benda yang dianggap membawa sial dalam usahanya.

Kepercayaan terhadap pelaris tak cuma ada di Indonesia. "Setiap bangsa itu pasti ada. Enggak mungkin, enggak ada. Artinya pelaris ini berlaku di hampir kebudayaan di setiap bangsa," tutur Fadly.

Seperti orang China yang percaya dengan feng shui. Buat mereka, rumah tusuk sate itu bisa berbuah sial bila digunakan sebagai tempat usaha; orang cenderung akan melewatinya begitu saja, tak akan datang untuk membeli.

"Jadi, ada berbagai kepercayaan yang sebetulnya pendekatannya lebih ke mistik. Tapi, percaya atau tidak, mereka meyakini bahwa ini jadi sebuah sarana yang baik untuk pelaris," imbuh Fadly.

Kumpulan Cerita Pesugihan Penglaris DaganganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang