Seorang gadis kecil meringkuk di samping kasur sambil menutupi telinganya dengan tangan. Hujan deras malam itu bahkan tidak bisa meredam kerasnya suara amarah Mama mengusir beberapa pria yang meminta Mama untuk segera mengosongkan rumah.
Kenapa? Bukankah ini rumah kami? Kenapa mereka mau mengambilnya?
Dia terus bertanya, dan menangis. Jiwa kecilnya yang renta tidak mau berhenti memikirkan apa yang salah. Setelah Mama dan Papa berpisah, dia pikir setidaknya semua akan menjadi lebih tenang. Namun beberapa bulan belakangan, rumah mereka terus didatangi orang asing.
Gadis kecil itu ketakutan.
Pintu kamarnya terbuka, dan sosok Mama dengan penampilan berantakan datang. Dia bahkan tidak melirik ke arah gadis kecil itu barang sedetik. Mama menuju kasur, kemudian menangis dengan kencang.
"Renjana Arunika!"
Gadis kecil itu terperanjat, kemudian matanya melebar. Ruangan yang tadinya remang-remang, kini berganti terang oleh cahaya lampu. Dia mengeryit, menemukan seseorang berwajah cemas tengah menatapnya.
"Aru! Ish! Makanya baca doa sebelum tidur!"
Perempuan itu dipaksa duduk oleh orang yang membangunkannya. Wajahnya sembab karena tangisannya terbawa sampai dunia nyata. Dia mencoba untuk bernapas, kemudian tiba-tiba kepalanya terjatuh ke atas pundak orang tadi.
"Bang.... Lemes..."
"Kamu ini nakutin banget, Ru. Capek abang tiap malam patroli ke kamarmu."
Rendra mengusap kepala adiknya, kemudian menepuk pelan punggung Aru agar perempuan itu lebih tenang. Sudah tujuh tahun, dan malam penuh tangis adiknya tidak pernah berhenti datang.
"Mau tidur di kamar abang?"
Aru menjauh, wajahnya berubah jadi tengil. "Nggak, Aru udah besar."
"Kamu tuh masih bayi!"
"Aru udah SMA! Yang masih bayi tuh Jian!"
"Kakak!" Rendra melotot. "Jian tuh lebih tua sebulan dari kamu."
Aru menutup telinganya, kemudian turun dari kasur sambil membawa bantal. Rendra memperhatikan dengan kesal.
"Kamu mau kemana?"
"Kamar Mas Jen."
"Tadi disuruh tidur sama abang nggak mau, tapi sama Jeno mau!"
"Kemaren kan sama Abang, hari ini sama dia." Aru menunjukkan cengiran khasnya, kemudian menyium pipi abangnya secepat kilat. "Makasih abang. Dadah!"
Rendra cuma bisa menatap Aru sambil geleng-geleng. Sebelum keluar dari kamar, Rendra menyempatkan diri membereskan kasur dan meja belajar Aru yang tidak pernah rapi.
Ketika Rendra hendak pergi setelah selesai merapikan semuanya, tanpa sengaja tangannya menyenggol sesuatu di atas meja rias. Sebuah name tag. Rendra membungkuk untuk mengambil benda tersebut.
Renjana Arunika
"Perempuan berhati kuat yang lahir saat fajar." Rendra tersenyum, tiba-tiba jadi teringat saat dia menanyakan arti nama Aru kepada Ibu.
*
"Aku gunting! Kakak kertas!"
Tidak mau kalah nyolot dari Aru, Jian ikutan membusungkan dadanya agar terlihat unggul. Mereka sedang berada di depan kamar mandi, menunggu Jeno selesai. Karena sama-sama terlambat bangun, dan kebetulan sampai di kamar mandi lantai bawah barengan, Aru dan Jian sepakat buat main suten untuk menentukan pemenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home ☑️
Fanfiction"Memangnya rumah cuma buat mereka yang punya keluarga?" Suatu kali Jian tiba-tiba bertanya begitu saat mereka sedang makan es krim di bawah pohon mangga. Tujuh orang yang duduk berjejer di sebelahnya menoleh, lalu kompak menggeleng. "Justru dari rum...