Seminggu sudah berlalu sejak mimpi buruk yang mereka alami kian hari menjadi terasa amat nyata. Tujuh laki-laki yang selama ini mengira kalau mereka mengenal Aru lebih baik daripada siapapun, merasa amat terkhianati ketika tau luka apa yang selama ini perempuan itu tanggung seorang diri.
Mereka pikir cara Aru yang tidak pernah mengungkapkan apa yang dia rasakan hanya karena gadis itu memang seseorang yang kaku. Aru yang terkenal misterius karena tidak seorang pun yang dapat mengetahui apa yang ia pikirkan atau rasakan— ternyata tak lebih dari seorang gadis remaja yang telah membunuh anak kecil dalam ingatannya.
"Dia sebenarnya sudah lama depresi. Inner Child yang cuma ngingetin dia kalo masa kecilnya penuh kesengsaraan, ngedorong Aru yang sudah sebesar sekarang jadi orang yang bener-bener tertutup. Bahkan untuk sayang sama orang, dia akan mensugesti dirinya kalo rasa sayang yang dia punya bakal jadi rasa sakit, dan begitu pun sebaliknya—" Laki-laki berjas hitam itu menghela napas sebelum melanjutkan. "Ketika dia merasa seseorang menyayanginya, dia gak akan percaya. Karena masa kecilnya gak pernah ngerasain kasih sayang, dia jadi takut buat percaya."
Tujuh laki-laki itu terkesiap, seperti merasa sebuah bom kini telah meledakkan seluruh rongga hatinya. Ruang yang kosong setelah kehilangan Aru, kini hancur berkeping-keping setelah mereka mendengar penjelasan psikolog— yang baru mereka ketahui dari Ibu.
"Aru pernah datang sekali bersama ibunya setahun yang lalu. Pada sesi kedua dan ketiga, ia selalu sendirian. Saya turut berduka cita atas kehilangannya. Selama ini saya selalu berusaha menghubungi ibunya agar membujuk Aru datang pada sesi keempat dan sesi-sesi lain, namun hasilnya nihil." Pria itu melepaskan kaca matanya, lalu mengusap air mata yang sejak tadi memaksa ingin keluar.
Untuknya Arunika bukan hanya sekedar pasien. Dirinya yang memutuskan menjadi psikolog padahal masih begitu muda, juga karena masa kecilnya yang terluka. Kesembuhan Arunika adalah keinginan terbesarnya.
Namun seperti yang dirasakan semua orang, begitu ia mendengar kepergian gadis itu, langkah kakinya dengan cepat membawanya pada kediaman Aru— dan berakhir bertemu tujuh laki-laki yang saat ini sudah basah oleh air mata, sejak kali pertama ia menceritakan bagaimana kondisi Aru.
"Terus luka-luka dan lebam yang ditemuin di tubuh Aru?—" Jeno bertanya sebagai orang yang sejak tubuh adiknya berada di dalam ambulance, sampai bahkan berada di rumah sakit, dan menyaksikan sendiri pertanyaan-pertanyaan dokter yang memeriksanya tentang— dari mana asal luka dan lebam di lengan dan dada Aru?
"Kata Ibu itu mungkin aja ulahnya—"
Dokter itu mengangguk. "Aru sendiri. Bentuk pertahanan untuk dirinya sendiri agar merasa aman."
"Terus malam itu.."
"Malam itu murni kecelakaan. Aru gak salah!" Jian terisak-isak, pedih rasanya menerima kenyataan kalau Aru tidak bisa mengontrol dirinya pada malam itu hingga kecelakaan yang menimpanya bisa terjadi. Sulit rasanya menerima fakta kalau ia tidak bisa melindungi adiknya, terlebih lagi— ia tidak tau apapun mengenai kondisi Aru.
"Gak ada yang bilang itu salah Aru, Ji. Udah!" Martin meraih Jian, diusapnya air mata adiknya yang terus turun membasahi pipi. "Udah, Ji. Kamu janji gak akan nangis lagi."
"Gimana bisa?! Kalo ada yang perlu disalahin itu aku! Aku, kak! Aku selalu bilang bakal jagain dia, tapi aku gagal! Ini semua salahku!" Jian makin histeris. Ibu yang tadinya berada di dapur, diam-diam ikut menangis.
Kini rumah itu kembali penuh oleh isakan. Seperti tak cukup membuat kehidupannya dipenuhi kesengsaraan, Ibu mengasihani Aru atas kepergiannya yang menyakitkan.
"Andai.... andai gue..." Erdalan mengepalkan tangannya kuat. Ujung-ujung jarinya sampai memutih, sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak memukul dirinya sendiri. "Andai gue bisa jadi tempat pulang buat lo kayak lo yang selalu jadi tempat pulang untuk gue, Ru..."
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home ☑️
Fanfiction"Memangnya rumah cuma buat mereka yang punya keluarga?" Suatu kali Jian tiba-tiba bertanya begitu saat mereka sedang makan es krim di bawah pohon mangga. Tujuh orang yang duduk berjejer di sebelahnya menoleh, lalu kompak menggeleng. "Justru dari rum...