"Sebenernya.... saya gak pernah kepikiran buat pulang ke rumah itu lagi, sekalipun cuma rumah itu satu-satunya yang tersisa buat saya."
Siang ini Jay datang sendirian untuk melakukan konsultasi rutin bersama Dokter Aida— Dokter Psikolog yang membantunya selama beberapa bulan belakangan. Dokter Aida masih terbilang muda. Dengar-dengar tahun ini dia genap 28 tahun dan akan segera menikah. Fakta lainnya, Dokter Aida juga menangani masalah psikologis Martin.
Kali ini Jay datang sendirian tanpa ditemani Jeno atau Aru. Bahkan, Jay mengaku kalau konsultasi hari ini adalah salah satu hal yang paling ia tunggu-tunggu.
"Tapi akhirnya kamu pulang." Dokter Aida mengulas sebuah senyuman. "Saya boleh tau alasannya?"
"Dokter boleh nebak."
Dokter Aida tergelak, sebab Jay kini tertawa geli seperti seakan-akan pembicaraan mereka kali ini sangat lucu— atau bahkan membuatnya bahagia. Dalam beberapa bulan terakhir, ini mungkin akan jadi pertama kalinya Jay mau terbuka dengan sangat nyaman.
"Saya tebak.... Arunika?"
Jay mengangguk. Responnya mengundang sebuah keterkejutan. Dokter Aida jadi teringat oleh sebuah foto yang pernah Jay tunjukkan. "Arunika lagi? Wah... saya gak pernah ketemu dia secara langsung, tapi kayaknya Arunika seseorang yang hebat banget, ya?"
"Banget, Dok. Gak ada yang sehebat dia dalam mengerti saya."
Jay memperbaiki posisi duduknya. Dibanding hari-hari kemarin, bisa dia rasakan kalau dirinya kini lebih baikan. Jay tidak pernah menyangka kalau dia akhirnya bisa melangkah seringan itu tanpa perlu repot-repot mensugesti diri kalau dunia terlalu jahat untuk ia tinggali.
"Dia orang pertama yang saya kasih tau kalau Bapak pengen saya pulang. Dia juga orang pertama yang saya kasih tau kalau keinginan Bapak terlalu mustahil buat saya. Tapi kemudian Aru bilang sama saya. Katanya, Bapak mungkin sudah gak kuat buat nahan kangennya. Buat nahan kesepiannya. Aru ngingatin saya.... kalau sekalipun Bapak punya Tante Erika dan Yena di rumah itu, sejatinya saya, anak kandungnya, rumah yang sebenarnya buat Bapak."
Jay mengatakannya dengan lancar, selancar bulir-bulir air mata yang ia biarkan jatuh dari pelupuk matanya. Hari ini dia memang berniat untuk menangis sepuasnya. Hal apapun tidak akan ia biarkan menghambat keinginannya untuk berubah, untuk berani melawan semua rasa takut kemarin.
"Kemarin.... Bapak bilang sama saya, Dok. Katanya, dia minta maaf karena terlalu banyak menuntut." Jay menerima tisu yang Dokter Aida berikan padanya. Dia menyimpan tisu itu dalam genggamannya yang erat, kemudian menunduk untuk membiarkan pandangannya yang memburam melihat tetes demi tetes air matanya jatuh ke permukaan celana yang ia pakai.
"Padahal Bapak gak pernah menuntut apapun. Dia nerima semua kemarahan saya selama bertahun-tahun. Dia tetap membiayai saya padahal saya gak pernah muncul di depan mukanya. Dia... Bapak... gak pernah sekalipun lari dari semua lampiasan marah yang saya kasih. Dia nerima semua itu tanpa mengeluh. Pa-padahal...."
Jay menutup mulutnya. Kepalanya sakit, tubuhnya juga bergetar, namun rasanya dia tidak ingin berhenti menyelipkan kata Bapak di setiap kalimat yang ia suarakan.
"Kata Ibu saya harus berani, Dok. Saya gak akan nyalahin Bapak lagi buat semua kesalahan di masa lalu itu. Saya... gak mau kejebak di ruangan gelap itu lagi, terus keluar dengan bagian-bagian tubuh yang ternyata udah penuh sama luka."
Dokter Aida mengangguk. Dia sempat menghapus sudut matanya yang mengeluarkan air. Dipandanginya Jay lamat-lamat, sambil berharap kalau Martin mungkin bisa jadi berani juga. Sebab sesulit-sulitnya Jay, membuat Martin terbuka dan bercerita selalu lebih sulit lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home ☑️
Fiksi Penggemar"Memangnya rumah cuma buat mereka yang punya keluarga?" Suatu kali Jian tiba-tiba bertanya begitu saat mereka sedang makan es krim di bawah pohon mangga. Tujuh orang yang duduk berjejer di sebelahnya menoleh, lalu kompak menggeleng. "Justru dari rum...