2.1

298 55 10
                                    


Jeno terbangun pukul 2 pagi saat Aru masuk ke dalam kamarnya dengan penampilan seperti zombie. Matanya terbelalak melihat adiknya seperti habis menangis, lantas menarik tangan Aru agar mendekat.

"Kenapa lagi ini??"

"Perutku...."

"Masih keram perutnya?" Pertanyaan Jeno dibalas anggukan lemas. Laki-laki itu menghela napasnya pelan, kasihan melihat Aru harus menangis setiap bulan karena tamu bulanannya. "Sini dulu Mas ambilin kompres."

"Udah tadi di kompres Ibu."

"Emangnya wajar kayak gini tuh? Kamu gak mau ke dokter aja biar diperiksa? Sampe nangis gini loh nahan sakit." Disela ringisannya Aru masih sempat tergelak. Jeno selalu panik saat dirinya PMS. Sudah berkali-kali cowok itu menawarinya ke dokter untuk diperiksa. Jelas Aru menolaknya, karena bisa-bisa ia ditertawai seisi rumah sakit. PMS itu wajar, memang Aru saja yang suka kesal dengan sakitnya, makanya ia menangis. Belum lagi semalam ia baru saja diputuskan oleh Echan.

Mengingat Echan, dia jadi rindu ditelepon sampai subuh oleh laki-laki itu. Aru kebanyakan akan diam, jadi Echan yang akan terus-terusan bicara. Kadang ia dibacakan dongeng karangannya, dinyanyikan lagu dengan suara indahnya, atau mesti mendengarkan aduan-aduan Echan mengenai hari-harinya.

Echan bilang dia sedih karena tidak bisa menemani Aru di sana setiap pacarnya sedang datang bulan. Jadi sebagai gantinya ia akan menelpon. Echan bahkan tidak masalah dimarahi tiba-tiba karena mood Aru saat datang bulan memang suka naik-turun.

Namun kini... harus Aru akui ia kalah. Perpisahan yang Echan sampaikan bahkan tidak ia sanggah, tidak ia tolak. Malam tadi untuk pertama kalinya tidak ada sinar kagum, bahagia, juga kasih sayang ketika mata laki-laki itu menatapnya. Hanya ada kekecewaan.

"Sini." Perlahan, Mas Jeno memeluknya. Ia tidak tahu diamnya Aru sedang memikirkan apa. Jeno tidak suka memaksa seseorang bercerita, jadi akan ia biarkan Aru melakukannya sendiri saat gadis itu sudah ingin.

Dibelainya surai hitam pendek itu. Tiba-tiba Jeno jadi ingat momen ketika Aru pertama kali menstruasi setahun yang lalu. Dia menangis dan memohon pertolongan.

"Ibu! Ayah! Hiks... Abang! Mas Jen!! Huaa... tolong... hiks... Jiandra lo dimana?!!" Ibu tergopoh-gopoh mendatanginya sehabis menyiram tanaman. Aru segera menggandeng tangan Ibu. Padahal ibu sudah pernah memberitahunya mengenai menstruasi. Namun sepertinya hari itu Aru terlalu panik untuk sekedar berfikir.

"Aku berdarah! Hiks... ayo ke rumah sakit!"

Mendengar hal tersebut Bang Rendra yang tadinya mengira Aru bertengkar lagi dengan Jian langsung melempar selang air dan meninggalkan motornya yang masih penuh sabun. Dia menatap Aru dari atas sampai bawah, mencari luka- atau apapun itu yang kemungkinan membuat adiknya menangis.

"Kamu kenapa??"

"Hiks... mau ke dokter!"

"Iya kenapa??"

"Tadi abis pipis aku keluar darah..."

Hari itu terlewati setelah Aru puas menertawai dirinya sendiri. Ibu memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelahnya Aru malah tertawa terbahak-bahak dan bersembunyi di kamar seharian. Jelas dia malu setengah mati.

"Mas, tadi gimana Mas Jay?"

"Baik-baik aja." Jeno tersenyum, hari ini semua berjalan dengan baik untuknya. "Dokter Aida nanyain kamu."

"Aku?"

"Iya dia penasaran. Jay sama Kak Martin kan selalu cerita soal kamu."

"Ada-ada aja."

From Home ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang