Tiga bulan kemudian....Aru menyipitkan mata untuk membaca judul dari buku yang sedang teman sebangkunya baca. Sebulan lagi mereka akan ulangan kenaikan kelas. Suasana kelasnya sejak tadi tenang karena ada guru yang memperhatikan dari depan. Mereka disuruh membaca ulang mengenai suatu bab yang entahlah— Aru tidak tahu. Dia baru saja terbangun dari tidur karena teman sebangkunya membangunkan.
Aru menghela napas, kemudian mengambil buku paket yang sama. Membukanya entah di halaman berapa, lalu menatap semua deretan abjad di sana dengan mata sayu. Jelas, Aru masih mengantuk. Beberapa hari terakhir dia tidak tidur dengan lelap karena mimpi buruk lagi. Jadi Aru menghabiskan malamnya untuk melukis.
"Ru, halaman enam puluh tiga." Fani, teman sebangkunya mengetuk permukaan buku paket Aru. Dia tersentak, lalu melayangkan sebuah cengiran dan mencari halaman 63.
"Mikirin apa sih?" Fani bertanya dengan suara berbisik, takut ketahuan mengobrol.
Aru menggeleng. "Nggak ada, Fan."
"Dari kemaren gue liat-liat makin lemes aja lo."
Aru hanya diam. Fani kemudian menghela napas, kemudian menepuk pundaknya pelan. "Jangan lemes-lemes ah. Gak ada Echan yang bisa jadi badut dadakan lo lagi. Mandiri, Ru."
"Bisa aja lo." Aru membalasnya dengan kekehan pelan. Setelah Fani kembali pada bacaannya, Aru jadi murung lagi. Dia menjatuhkan tatapannya pada buku, namun bukan untuk membaca, namun untuk kembali melamun.
Perkataan Fani membuatnya jadi teringat Echan. Tiga bulan yang lalu semenjak laki-laki itu pindah, Echan memang selalu menepati janjinya. Dua minggu sekali dia akan main ke Jakarta. Selain itu, 24 jam sehari tidak pernah Echan absen mengirimkan bubble chat— atau bahkan menelponnya saat pagi dan malam. Namun dering notifikasi selalu berbeda rasanya dengan sebuah pertemuan yang nyata.
Akan ada saatnya Aru merasa asing di tempat-tempat tertentu. Makan di kantin, mengantre seblak langganan Echan, menatap padatnya jalan raya dari bus kota, atau sesederhana butuh teman untuk pergi ke galeri seni.
Aru memang punya banyak Abang, namun entah kenapa beberapa bulan terakhir mereka semua jadi sangat sibuk. Seringkali mereka bertanya apakah ada yang Aru butuhkan, namun dia terpaksa berkata tidak. Aru butuh ditemani, namun dia tahu semua orang sedang kelelahan jadi dia memilih untuk bungkam.
Sekarang, dia cuma butuh jarum jam bergerak lebih cepat. Tidak ada yang lebih Aru inginkan selain segera pulang.
*
"Kok Abang?"
Bukan cuma Aru tapi Rendra juga mengeryit saat mereka saling bertatapan. "Kok nanya gitu?"
"Nggak..." Aru berdeham, lalu memakai helm yang Rendra bawa. "Tumben Abang yang jemput."
"Daripada kamu naik bus lagi."
Aru kemudian naik ke atas motor. Sebelumnya Rendra memindahkan tas ranselnya ke depan agar Aru tidak kesempitan— meskipun pastinya tidak. Namun tetap saja Rendra ingin adiknya duduk dengan nyaman. Setelah memastikan Aru sudah aman Rendra menarik tuas gas dan bergabung bersama kendaraan lain di jalan raya.
"Kamu lagi gak pengen sesuatu, Ru?"
Aru meletakkan dagunya di pundak Rendra. "Kenapa emangnya? Abang mau ngasih?"
"Kalo minta ginjal Abang sih jangan dulu Ru."
Aru tergelak. "Kalo helikopter?"
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home ☑️
Fanfic"Memangnya rumah cuma buat mereka yang punya keluarga?" Suatu kali Jian tiba-tiba bertanya begitu saat mereka sedang makan es krim di bawah pohon mangga. Tujuh orang yang duduk berjejer di sebelahnya menoleh, lalu kompak menggeleng. "Justru dari rum...