Perempuan itu akhirnya membuka jendela kamar setelah disesaki oleh ribuan pikiran buruk yang malam ini kembali berkunjung. Semua tamu sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu. Orang-orang rumah mungkin juga sudah terlelap-- sebab kini Aru tidak lagi mendengar suara game dari kamar sebelah, atau suara petikan gitar milik Kak Martin disertai sahutan lagu-lagu bernada sendu dari Bang Rendra dan Lele. Tentu saja sebab sekarang sudah jam 3 pagi.
Angin kencang yang membuat tubuhnya nyaris menggigil tidak membuat Aru beranjak dari depan jendela. Dia membiarkan dirinya kembali dihajar habis oleh realita.
Tadi, di sana.... Aru menemukan dirinya terpengkur di ujung ruangan sambil memperhatikan betapa hangatnya keluarga itu. Tante Sania-- Mama Lele, orang tua Mas Jay dan Yena, juga tak lupa telepon singkat dari Mama Kak Martin. Mereka semua berbondong-bondong mengirimkan banyak harap untuk Ibu. Untuk wanita yang merawat anak-anak mereka sekalipun dia punya 3 anak kandung yang harus diperhatikan juga.
Hanya orang tuanya yang tidak datang. Sebenernya Aru bahkan tidak berharap banyak. Setidaknya dia pikir Mamanya akan menelpon dan mengiringi ulang tahun Ibu dengan seuntai kalimat-kalimat baik sebab ia bersedia menerima Aru di rumah ini. Namun sampai tengah malam datang dan kini hari telah berganti, tidak ada kabar apapun.
"Ru?"
Aru menoleh ke arah pintu, membiarkan Bang Rendra berusaha membuka pintu kamarnya yang ia kunci dari dalam. Dia jarang melakukan itu sebab abang-abangnya akan bergantian menengoknya untuk memastikan apakah ia tidur dengan baik atau tidak. Namun hari ini, Aru rasa dia tidak akan punya keberanian untuk melihat wajah semua orang.
"Arunika?"
"Dek? Udah tidur?"
Andai dia bisa mengucapkannya, Aru ingin sekali bilang bahwa seringkali dia lelah untuk terus berpura-pura. Bertingkah seperti seakan-akan dia baik-baik saja. Berbicara dan tertawa seperti seakan-akan dia sudah ikhlas pada kejadian di masa lalu yang membawanya sampai di sini. Jika Aru memiliki persentase baterai untuk dirinya, mungkin kini miliknya hanya sisa 10%.
Namun Aru mungkin tidak akan menyesali semuanya. Sebab 90% miliknya yang habis telah ia gunakan untuk membantu orang-orang di rumah ini menemukan jalan pulang. Meski sampai sekarang ia masih linglung dimana tempat sebenarnya untuk pulang.
*
"Lo mau lanjut S2, Ren?" Adalah ucapan pertama yang Rendra dengar saat kembali ke kamar. Martin duduk di meja belajarnya yang menghadap langsung ke jendela. Dibukanya gorden lebar-lebar bermaksud untuk melihat penampakan bulan malam ini.
"Nggak."
"Kenapa?"
Rendra mengeryit, lantas menggelar sajadahnya dan mengambil sarung dari dalam lemari. Tadi Rendra memang sempat tertidur. Sekarang dia mau menunaikan sholat tahajud. "Ya mau kerja lah pake nanya lagi lo. Udah sana tidur bengong mulu perasaan di situ."
"Gue kepikiran Aru."
Sarungnya sudah rapi ia kenakan. Namun Rendra malah bergeming saat Martin malah mengucapkan nama gadis yang membuatnya didera perasaan pedih itu. Kini Martin mengambil satu putung rokok dari dalam bungkusnya, lantas berdiri dan pergi dari kamar. Rendra tinggal sendirian, seperti seakan-akan diberi kesempatan untuk lebih leluasa memikirkan Arunika.
Tentang bagaimana dia dan Martin melihat gadis itu mengusap air matanya di dapur sebelum akhirnya bergabung dengan keramaian bersama senyum cerianya yang nampak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home ☑️
أدب الهواة"Memangnya rumah cuma buat mereka yang punya keluarga?" Suatu kali Jian tiba-tiba bertanya begitu saat mereka sedang makan es krim di bawah pohon mangga. Tujuh orang yang duduk berjejer di sebelahnya menoleh, lalu kompak menggeleng. "Justru dari rum...