0.9

280 51 10
                                    

Rendra ingat saat kali pertama dia tahu kalau Martin pingsan setelah dipukuli oleh Papanya sendiri.

Waktu itu mereka masih kelas 2 SMP, dan tidak pernah Rendra bayangkan kalau Martin dengan berani akan bilang ke Papanya untuk memukul dirinya sebagai pengganti Mama.

Rendra sudah tahu kalau Papa Martin orang yang kelewat serius dan menyebalkan. Banyak aturan, maniak kebersihan, dan berwatak keras. Dia juga tahu keluarga Martin sudah lama tidak baik-baik saja. Puncaknya beberapa bulan yang lalu saat Mama Martin memutuskan untuk keluar dari rumah itu setelah bertahun-tahun bertahan.

Rendra tahu semuanya. Masa kecil Martin, keluarganya, dan keadaannya.

Martin cuma laki-laki berumur 21 tahun yang selalu percaya pada mimpinya. Mimpi sesederhana kalau keluarga mereka bisa tetap baik-baik saja. Martin tidak masalah Papa pukuli dan tidak masalah Mama salahkan asal rumah mereka tetap lengkap dengan penghuninya.

Namun hari ini, setelah bertahun-tahun bertahan.... Martin sadar mimpinya telah lama hancur.

"Gue kayaknya mau mati deh Ren." Martin batuk, lalu meringis saat seluruh tubuhnya semakin sakit. "Badan gue sakit semua."

"Diam."

Rendra melepas kemeja yang dia pakai hingga menyisakan kaos polos tipis di badannya dan memakaikan kemeja itu ke Martin untuk menutupi bekas luka di kulit pucat sahabatnya. Saat dia sampai rumah itu semakin sepi sebab hanya tersisa Martin di sana, terkapar tak berdaya di lantai ruang tamu.

"Mana dia?" Tanya Rendra setenang mungkin. Ini bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi itu, dan Rendra sudah tahu apa yang mesti dia lakukan.

"Pergi."

Rendra mengatupkan bibirnya rapat. Rahangnya mengeras.

"Ren."

"Diam."

Rendra menuntun Martin untuk naik ke punggungnya dengan perlahan. Kalau bertahun-tahun yang lalu mungkin dia tidak akan kuat, namun kini Rendra bisa. Sebab dibandingkan dulu, Martin yang sekarang lebih ringan karena kehilangan banyak berat badan.

"Tadi gue kepengen bunuh dia."

"Gimana mau ngebunuh kalo jalan aja lo nggak bisa?" Cetus Rendra kesal. Di kepalanya sekarang hanya membawa Martin keluar dari rumah itu secepatnya.

"Tapi gue lebih kuat deh kayaknya Ren."

"....."

"Buktinya tadi nggak pingsan. Cuma ya gitu nggak bisa gerak aja makanya rebahan doang." Martin memaksakan dirinya tertawa. "Lo gak usah khawatir. Ini nggak seberapa kok."

"Gak usah banyak bacot."

"Jangan bawa gue ke rumah sakit."

"....."

"Ren."

"......"

"Jangan bawa gue ke rumah lo juga."

"Diem kenapa sih?"

"Nanti Ibu sama Ayah khawatir, Ren."

"Terus lo mau ke mana?!"

"Jalan-jalan."

"Orang gila."

Rendra malas mendebat lagi. Sebentar lagi mereka sampai di mobil Sofia. Jika Jeno yang di posisinya, mungkin mereka akan sampai lebih cepat. Namun Rendra bukan langganan gym seperti adiknya.

"Ren."

"Apa sih Tin? Diem dulu!"

"Kepala gue sakit."

From Home ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang