bacanya perlahan, ya..*
Aru bergeming, matanya menyipit saat langit terlihat begitu terang hingga menyilaukan penglihatannya. Dia menoleh kesekitar hanya untuk menemukan lingkungan yang nampak begitu sepi. Di depannya berdiri sebuah rumah yang dulu ia tempati dengan Mama dan Papa.
Hanya butuh seperkian detik untuk membuatnya tersadar dari ilusi ini. Dia mengerjapkan mata berkali-kali, berharap agar mimpi ini segera usai.
"Aru?"
Gadis itu tersentak kaget. Dia segera menoleh, lantas termundur saat melihat seorang wanita berdiri di belakangnya secara tiba-tiba.
"Aru, ini Mama. Kenapa kaget banget?"
Aru tertegun. "Mama..?"
"Ngapain berdiri di sini aja? Cepetan masuk."
"Mama...?"
"Apalagi?"
Mata Aru berkaca-kaca. Tangannya gemetar, matanya juga panas karena menahan air mata. Harusnya melihat Mama setelah sekian lama seperti saat ini bisa membuatnya begitu terharu hingga berlari memeluk sosoknya. Namun nyatanya, Aru kini hanya diam, bahkan jika boleh berlari menjauh dia pasti akan melakukannya.
Kakinya berat untuk mundur lagi. Melihat wajah Aru yang pucat membuat Mama mengeryit. Dia melangkah maju, membuat Aru mati-matian menahan diri untuk tidak berteriak agar Mama berhenti mendekat.
"Kenapa sih??"
"Ma..."
"Cepetan masuk! Jangan kayak orang bego di sini. Apa? Kamu marah lagi karena Papamu gak datang liat kamu? Eh, Aru, udah Mama bilang gak ada yang sayang sama kamu. Bahkan Bapakmu sendiri."
Aru menggenggam tangannya erat, membuat kuku-kukunya menekan dengan kuat telapak tangannya. Harusnya itu terasa sakit namun perkataan Mama barusan lebih menyiksanya.
Semua terasa seperti mimpi buruk yang terulang kembali.
"Kamu itu jangan berharap sama siapa-siapa. Pasti orang tuh mikirnya Mama jahat, padahal—"
Kata-kata yang sama persis seperti dahulu.
"Bahkan Mama sendiri?"
Mama melotot, terkesiap sejenak karena begitu kaget dengan balasan Aru. Putri kecilnya yang dulu hanya diam, kini bisa bersuara seberani itu. "Berani banget kamu potong omongan saya!"
"Bahkan Mama sendiri juga gak sayang aku?" Pertanyaan yang sudah dia pendam seorang diri sejak bertahun-tahun lalu, kini telah ia sampaikan. Mama di depannya terdiam, matanya enggan menatap mata Aru padahal sejak tadi dia yang memelototi gadis itu.
Bahkan Aru sendiri juga terkejut darimana keberanian ini datang. Semua yang terjadi sekarang seperti potongan-potongan hayalannya yang menjadi nyata.
"Ma.... Aku sakit. Aku ngerasa gak berhak sayang sama siapa-siapa."
Sekelebat bayangan mengenai ke-enam abangnya, ibu, ayah, juga Erdalan memenuhi ruang ingatannya. Dengan kasih sayang sebanyak itu harusnya dia bisa jadi manusia paling bahagia. Namun Aru terlalu takut untuk percaya pada siapapun. Akan jadi mati yang kesekian kalinya jika ia terlalu menyayangi.
Mama dan Papa mengajarinya demikian. Aru kecil yang tidak pernah melewati satu hari damai, usapan penuh kasih sayang seorang Mama, gendongan tanda cinta seorang Papa, tumbuh besar dengan segala ingatan kalau tidak akan ada yang menyayanginya membuat Aru percaya kalau dia tidak boleh menyayangi apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home ☑️
Fanfiction"Memangnya rumah cuma buat mereka yang punya keluarga?" Suatu kali Jian tiba-tiba bertanya begitu saat mereka sedang makan es krim di bawah pohon mangga. Tujuh orang yang duduk berjejer di sebelahnya menoleh, lalu kompak menggeleng. "Justru dari rum...