0.3

416 62 21
                                    


Bukan rahasia umum lagi kalau cowok seganteng dan sesabar Martin sudah punya pacar. Namanya Hera, anak Fakultas Kedokteran. Waktu itu ada festival di kampus mereka, dan semua Fakultas berkumpul untuk meramaikan acara.

Kebetulan, Martin yang posisinya berdiri di paling depan bareng mahasiswa dari Fakultas Seni Musik, pada heboh karena pembawa acara bertanya apakah dari penonton ada yang mau menyumbangkan sebuah lagu. Terus tiba-tiba, Martin di dorong sama teman-temannya ke depan- apalagi jika bukan untuk dijadikan umpan.

Martin masih ingat lagu apa yang dia bawakan saat itu. Dia juga masih ingat tatapan kagum seorang perempuan yang berdiri di tengah-tengah penonton lainnya.

Banyak cewek terpanah saat kali pertama Martin memetik senar gitar, namun atensinya cuma tertuju ke Hera. Waktu itu Martin nggak tahu siapa namanya, namun senyuman manis Hera terus membekas hingga dua minggu kemudian saat mereka nggak sengaja bertemu sewaktu mengantri fotocopy, Martin memberanikan diri mengajak berkenalan.

"Martin?"

Hera yang tadinya baru turun dari tranportasi umum langsung mendekat ke arah Martin yang masih duduk di kursi halte. Martin kelihatan lelah dan pucat, mungkin karena dia berada di sana terlalu lama— sebab cuaca sedang sangat dingin.

"Kamu... Ngapain?"

"Nunggu kamu."

"Kenapa nggak nelpon? Hari ini aku pulang telat soalnya—"

"Nggak papa." Martin berdiri, kemudian meraih tangan Hera yang hangat. "Aku suka nunggu kamu."

"Gimana kabarnya hari ini?"

Sama seperti dua tahun lalu, Hera selalu punya tatapan dan senyuman yang khas saat melihat Martin. Hera juga selalu menanyakan bagaimana harinya, alih-alih marah karena Martin sering tidak memberi kabar. Sejujurnya, Martin suka sekali menghilang, lalu tiba-tiba menunggunya di halte dekat rumah. Tanpa pemberitahuan, dan hanya menggenggam tangannya sampai rumah.

"Not bad. Hari ini aku bangun siang, makan nasi padang bareng Rendra, ikut satu kelas, terus..."

"Terus?"

Martin menggeleng, kemudian mengalihkan pandangannya ke depan, ke sepanjang trotoar yang sepertinya tidak memiliki ujung. Hera tersenyum lagi, dan mengeratkan genggaman tangan mereka.

Teman-temannya yang tahu bagaimana hubungannya dengan Martin seringkali menyuruhnya untuk putus. Martin terlalu cuek, tertutup, punya rumor kalau keluarganya hancur, dan memiliki mental yang nggak stabil.

Namun cuma Hera yang tahu bagaimana Martin kepadanya.

Laki-laki penyuka semangka itu memang terlalu menyebalkan kalau soal terbuka, namun dia selalu berhasil membuat Hera merasa disayangi lebih dari apapun.

"Hera, aku tadi beli ini." Martin merogoh saku celananya, mengeluarkan jepit rambut lucu dengan miniatur kecil semangka. "Buatmu."

Hera tertawa saat melihat semangka itu. "Martin."

"Iya?"

"Semangka atau aku?"

Martin tersenyum. Dengan tenang dia berkata, "Hera. Aku bisa tahan nggak makan semangka satu hari, tapi aku nggak tahan nggak ketemu kamu meski cuma setengah hari."

"Sering main sama anak Teknik Mesin kamu jadi pintar ngegombal."

"Ke kamu doang."

"Masa?"

"Andai keluargaku baik-baik aja, aku pasti udah bawa kamu buat ketemu orang tuaku."

Hera tertegun. "..... Kenapa begitu?"

From Home ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang