Patah hati pertama Yena berasal dari Papanya. Pria itu berselingkuh hingga kemudian Mama menuntut perceraian. Sejak dulu Yena memang terbiasa sama Mbak— orang yang dipekerjakan orang tuanya untuk merawat Yena saat mereka sibuk bekerja dan menikmati hidup sendiri-sendiri.
Satu-satunya kabar baik adalah Mama masih mau memperbaiki diri setelah Papa ketahuan berselingkuh. Dia jadi lebih sering memperhatikan Yena secara langsung alih-alih lewat Mbak.
Sejak kecil melihat Mama bekerja dan merawatnya sendirian membuat kebencian Yena pada Papa semakin besar. Dia kemudian jadi membenci laki-laki juga— sebab pikirnya semua laki-laki akan memperlakukan Mama dan dirinya dengan sama.
Pendirian Yena masih sama— setidaknya berkurang sampai detik dimana dia menunggu Jeno di depan gerbang sekolah hari itu. Lalu kemudian... Dia kembali di hadapkan pada sebuah situasi yang membuat Yena jadi menerka lagi apakah selama ini pemikirannya terlalu egois pada semua orang.
"Gue tau lo gak ngerti cara ngehargain orang, seenggaknya tolong hargain makanan."
Yena mengeryit. Jay nampak malas melihatnya namun dia terus saja menyuruhnya makan. "Ngomong sana sama diri lo sendiri."
"Gue cuma nyampein apa yang dibilang Ibu."
"Ibu?"
Jay menyerah, dia kemudian meletakkan sendok yang baru saja dia ambil ke atas piring berisi nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi buatannya.
"Ibu?" Yena mengulangi. Penasaran siapa yang mengajarkan Jay kata-kata seperti itu disaat semua orang tahu kalau Jay tidak dekat dengan orang tua manapun.
"Ibunya Jeno."
"Lo... Sedekat itu?"
Jay mengeryit. "Ibunya Jeno Ibu gue juga."
Yena tertegun. Laki-laki itu bahkan tidak mau tinggal seatap dengan Bapaknya, tapi mampu menghormati orang tua sahabatnya dengan baik.
"Gue ke depan dulu."
"Ke mana Jay?"
Jay menoleh, tidak bisa menyembunyikan kebingungannya karena Yena akhir-akhir ini nampak terlalu menempel padanya. Jay tahu Yena sedang berada di masa-masa sulit, namun dia tidak tahu kalau gadis itu akan melupakan sifat dinginnya.
"Gue ke warung, Yen. Lo mau ikut juga??" Jay tampaknya sudah terlalu sewot. Yena menghela napas pelan, lalu menggeleng.
"Gue... Cuma nanya."
"Gue bentar doang. Lagian gak akan ada wartawan yang bakal nemuin lo di sini."
"Oke, gue ngerti. Santai aja."
Jay menegakkan badannya, kemudian menghela napas pelan, berusaha mengontrol emosinya. Jujur saja sejak semalam dia tidak tidur karena Yena mengambil alih kasurnya. Belum lagi, Jay tidak bisa semalaman di dalam kamar yang sama dengan gadis itu karena bu Kos tidak mengijinkannya sekalipun mereka saudara tiri. Karena itu Jay nongkrong di depan kos-an sama mahasiswa yang memang mendominasi kos-an tempat Jay menyewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home ☑️
Fanfic"Memangnya rumah cuma buat mereka yang punya keluarga?" Suatu kali Jian tiba-tiba bertanya begitu saat mereka sedang makan es krim di bawah pohon mangga. Tujuh orang yang duduk berjejer di sebelahnya menoleh, lalu kompak menggeleng. "Justru dari rum...