0.8

284 53 18
                                    

Martin tadinya sudah berniat akan menginap di rumah Rendra agar besok tidak perlu bolak-balik lagi, namun niatnya mesti urung sebab dia mendapat telepon dari rumah.

Jika dalam keadaan yang berbeda Martin pasti akan mengabaikan panggilan itu. Namum sialnya bukan Papa, melainkan Mamanya yang menelpon. Karena tidak membawa kendaraan, Martin pulang menggunakan motor milik Rendra. Untungnya, meski adik-adiknya yang lain sudah pada punya rencana untuk malam mingguan, Rendra bilang dia akan menetap di rumah saja. Jadilah, Martin bisa meminjam motor cowok itu.

Dibandingkan rumah Rendra yang tidak begitu besar meski memuat banyak anggota keluarga di dalamnya, rumah Martin dua kali lipat lebih besar padahal cuma punya satu orang yang tinggal— yaitu Papa.

Sewaktu sampai dia disambut oleh mobil milik Mama di pekarangan rumah. Martin juga tidak melihat adanya pembantu rumah tangga yang baru, meski kini di dalam kepalanya dia sudah berspekulasi kalau pekerja itu pasti sudah dipecat.

Papanya tidak suka ada orang asing yang terlalu lama berada di dalam rumah. Jadi dia suka mengganti pembantu setelah sebulan memperkerjakannya.

"Mandi, lalu duduk di sini. Kita perlu bicara."

Martin hampir mendengus kala melihat Papa dan Mama duduk berjauhan di ruang tamu.

"Martin sudah mandi."

"Papa bilang, mandi! Banyak kuman kamu dari luar. Nggak ada juga yang bisa memastikan kalau kamar mandi di rumah kecil milik teman—"

"Martin mandi dulu." Tidak tahan dengan ucapan Papanya, Martin berakhir mengalah. Lagipula siapa juga yang bisa kalah dengan Papanya yang maniak kebersihan.

Dua puluh menit berlalu. Mama sudah siap untuk pergi lagi ketika Martin sampai di ruang tamu. Cowok itu mengeryit, merasa keberatan karena dia tidak bertemu Mama lebih dari dua bulan.

"Ma, mau kemana sih buru-buru??"

"Mama ada urusan. Biar Papamu yang jelasin maksud pertemuan ini."

"Ma??"

Mama membuang pandangannya, kemudian berdiri sambil menenteng tas yang sejak tadi ia pangku. Wanita itu bahkan tidak mau repot-repot memeluk atau menanyakan kabar Martin— anaknya sendiri yang sudah lama tidak ia lihat.

"Pa, Mama nggak pulang lagi? Kalian berantem lagi?"

Papa memberikan kertas yang sejak tadi ia pegang. Kertas yang sebelumnya dibawa oleh Mama Martin.

Surat perceraian.

"Pa?"

Pria itu masih nampak tenang padahal dia dengan jelas melihat adanya berbagai macam emosi nyata di mata putra semata wayangnya.

"Mama dan Papa memutuskan berpisah."

Martin terdiam dengan pandangan yang terpaku pada kertas di atas meja. Seluruh tubuhnya bagai disengat, dan kini jantungnya berdetak dengan gila.

Apakah ini yang dia dapat dari pengorbanannya menjadi pelampiasan Papa ketika bertengkar dengan Mama? Perceraian orang tuanya? Apakah kini mereka benar-benar harus berpisah?

Papa berdecih. "Lagian saya memang nggak butuh Mamamu lagi. Biarkan saja dia pergi dengan laki-laki lain. Dia pikir dia siapa."

Martin mengepalkan tangannya kuat.

"Kurang apa saya sama Mamamu sampai dia berani-beraninya meminta cerai? Perempuan nggak tahu malu. Nggak ada beryukur-bersyukurnya."

"Pa!"

"Selama ini kamu selalu belain dia, tapi lihat apa yang dia kasih ke kamu? Nggak ada, kan?" Papa menyorotkan pandangan menantang. "Cuma karena dia bersujud di kaki saya agar memperbolehkan kamu bermusik, kamu rela jadi temengnya. Semua luka yang kamu dapat, apa balasannya? Nggak ada!"

From Home ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang