Lima hari berlalu dan hari ini akan menjadi hari terakhir Martin berada di rumah sakit. Dia sendirian, sedang duduk menatap jendela seperti hari sebelum-sebelumnya. Tidak mau keluar untuk sekedar menghirup udara segar di taman, atau berjalan-jalan santai di lorong rumah sakit yang identik dengan bau obat-obatan.
Rendra baru saja pulang untuk mandi dan berganti baju. Martin menyuruhnya tidur sebentar karena beberapa hari belakangan Rendra terlalu sering terjaga sampai pagi untuk menemaninya dan mengerjakan tugas kuliah di rumah sakit.
Pintu ruangannya terbuka, menghadirkan aroma manis khas seseorang yang langsung membuat Martin menoleh. Aroma parfum yang sangat dia rindukan.
"... Hai?"
"Hera?"
Perempuan itu menutup pintu, kemudian berjalan mendekati Martin yang sedang duduk di pinggir bed rumah sakit.
"Maaf... Baru datang sekarang."
"Nggak papa." Martin mengangguk canggung.
"Aku dengar dari Rendra kamu—"
"Aku udah baikan."
Hera mengerjapkan matanya. Dia menunduk, menatap jari-jari kurus Martin yang terkulai lemas di atas paha laki-laki itu. Dalam situasi yang berbeda, mungkin Hera akan langsung menggenggam tangan itu. Tangan hangat yang dulu selalu menjaganya, meski dia sendiri butuh dijaga.
Hera merindukan Martin.
Melihat keadaan Martin sekarang membuatnya semakin sakit. Lebih sakit dari ketika Martin memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
"Aku pengen peluk kamu."
"Ra.."
"Sekali aja. Aku pengen peluk kamu."
Martin diam saja, tidak mengatakan apapun. Dia membiarkan Hera mendekat dan duduk di sebelahnya, kemudian melingkarkan tangannya untuk mendekap tubuhnya. Untuk sesaat, Hera hampir menitikkan air mata kala sadar kalau tubuh Martin...... tidak sehangat dulu.
"Kamu harus kuat."
Martin tidak membalas pelukan Hera.
"Jangan nyerah sama hidup. Aku nggak masalah kita putus, tapi kamu harus janji hidup dengan baik."
"....."
"Martin... Kamu janji bakal buatkan lagu untukku. Kamu janji bakal bawa Aru dan Jian ke konser pertama mereka di umur tujuh belas tahun. Kamu... Hiks..." Isakan Hera akhirnya lepas. Bibirnya bergetar, tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Martin yang dia kenal selalu menatap matanya saat berbicara, selalu membalas pelukannya, dan menenangkannya ketika menangis. Namun kini Martin yang berada bersamanya lebih mirip sebuah patung tak berperasaan. Laki-laki itu hanya diam sedangkan tangisnya makin mengeras.
"Martin...."
"Gue juga gak suka hidup begini, Ra. Gue gak mau. Gue capek."
Hera melepas pelukannya, kemudian menatap mata Martin yang memandang kekosongan.
"Gue bukan Martin yang lo kenal. Gue yang di depan lo sekarang.... Martin yang nggak punya apa-apa lagi."
"Martin—"
"Nggak ada yang sayang sama gue. Nggak ada yang peduli sama gue."
Martin menunduk, dia menangis. Air matanya jatuh ke atas celananya. Hera terdiam tidak tahu harus melakukan apa.
"Ra..."
"I-iya?"
"Aku sayang sama kamu. Sayang banget Ra sampai kalau harus dipaksa lepasin kamu biar kamu bisa lebih bahagia dan dapat orang yang lebih layak-"
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home ☑️
Fanfiction"Memangnya rumah cuma buat mereka yang punya keluarga?" Suatu kali Jian tiba-tiba bertanya begitu saat mereka sedang makan es krim di bawah pohon mangga. Tujuh orang yang duduk berjejer di sebelahnya menoleh, lalu kompak menggeleng. "Justru dari rum...