Sebetulnya Jay di diagnosa memiliki PTSD— Sebuah gangguan mental dimana penderitanya memiliki trauma terhadap peristiwa tidak menyenangkan yang pernah disaksikan atau terjadi sebelumnya.
Karena hal ini, Jay menyalahkan Bapak untuk semua mimpi buruk yang harus ia lalui sampai sekarang. Semenjak kematian Ibu, Jay sudah bilang kalau dia tidak butuh pengganti ibunya. Namun Bapak selalu salah mengerti. Dia menikah beberapa bulan kemudian dengan alasan kalau Jay kecil butuh seorang ibu.
Kala itu dia masih berusia 8 tahun ketika ibu tirinya melampiaskan semua amarah padanya ketika bapak tidak di rumah. Menyuruhnya ini-itu, mencabulinya, dan menyiksanya. Lima tahun bapak bersama wanita itu, dan di tahun kelima bapak baru tahu kalau pernikahannya adalah neraka paling nyata untuk anak satu-satunya.
Sebuah isakan tangis membuat Jeno yang baru selesai menggantung jaketnya di belakang pintu menoleh ke arah kasur. Dia baru pulang sehabis pergi makan bersama Yena dan nongkrong sebentar sama teman-temannya.
"Jay?"
"Oit, Jayludin!" Jeno menggoyangkan kaki Jay dengan kakinya.
Tidak ada respon. Jay masih terjebak dalam mimpi buruknya. Keringat dingin kini membasahi tubuh laki-laki kurus itu.
"Jayden, bangun!"
"Nolan Jayden!" Habis kesabaran karena Jay tidak kunjung bangun, Jeno dengan spontan menggeplak kepala laki-laki itu. Mata Jay terbuka. Hembusan napas berat terdengar begitu jelas. Jeno menghela napas, kemudian memberikan Jay segelas air dari atas meja.
"Nggak Aru, nggak lo, kalo malam sukanya bikin jantungan."
"Sialan."
Bukan maksud Jeno kurang ajar terhadap pengalaman buruk yang Aru dan Jay pernah alami. Dia hanya tidak ingin mereka jadi canggung. Lagipula sudah lewat bertahun-tahun dan bangun tengah malam karena mimpi buruk sudah jadi sesuatu yang biasa diantara mereka.
"Nugas lo?" Jeno melirik beberapa buku yang tergeletak di sebelah Jay.
"Iya, tapi ketiduran. Metik emang obat paling ampuh buat orang ngantuk."
"Alesan lo adaaa aja."
Jay memberinya sebuah senyuman lebar. Gigi-gigi putihnya yang besar dan rapi terlihat begitu menggemaskan. Ketika Jeno mau mengambil handuk untuk mandi, dia tidak jadi keluar dari kamar saat Jay mulai merapihkan tasnya.
"Mau kemana lo?"
"Kos-an. Tidur di sana aja gue."
"Ngapain sih? Nanggung amat, mending besok baru ke sana."
"Pengennya sekarang."
Jeno berdecak. Jay itu lebih keras kepala dari kelihatannya. Meski sudah jam 12 malam dan dilarang bagaimana pun, anak itu pasti akan tetap nekat untuk pulang.
"Naik apaan?"
"Motor lu lah. Motor gue kan di kos-an."
"Lah gue sekolahnya gimana besok?!"
"Gue jemput."
"Sekarang banget lo pulangnya?"
"Iya, tadi 'kan sebenernya nungguin lo balik."
"Cuci muka dulu kek sana."
"Gak perlu gue udah ganteng.'
"Jayden." Wajah Jeno langsung berubah dingin. Dia tidak suka berfikir negatif, tapi Jay selalu berhasil membuatnya khawatir.
"Gue gak bakal ngapa-ngapain anjir. Nyampe kos langsung tidur ini palingan." Jay menggendong tas ranselnya. Sebenarnya dia datang tidak membawa tas, namun karena laptopnya yang ketinggalan harus ia bawa pulang, jadilah Jay mau repot-repot. Dia kemudian berjalan ke arah jaket Jeno yang digantung tadi lalu membawanya pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Home ☑️
Fanfiction"Memangnya rumah cuma buat mereka yang punya keluarga?" Suatu kali Jian tiba-tiba bertanya begitu saat mereka sedang makan es krim di bawah pohon mangga. Tujuh orang yang duduk berjejer di sebelahnya menoleh, lalu kompak menggeleng. "Justru dari rum...