0.4

367 66 17
                                    

Jeno memarkirkan motornya di seberang sekolah kala langit sudah berubah gelap. Gerbang sekolah nampak masih terbuka sedikit, dan pencahayaan dari pos satpam mampu menerangi sedikit penglihatan Jeno yang masih berdiri di seberang jalan.

Cowok dengan baju seragam sedikit berantakan itu menelan ludah. Badannya seperti mendapat sengatan-sengatan kecil saat pandangan matanya bertabrakan dengan mata seseorang di depan gerbang sekolah.

Perlahan namun pasti, Jeno melangkahkan kakinya untuk menyebrang.

"Na--"

Perempuan itu, Yena, dia melemparkan tas ransel milik Jeno-- membuat cowok yang baru saja dia buat terkaget-kaget langsung cekatan menangkap barang miliknya.

"Kalo bolos seenggaknya ingat buat bawa tas."

Jeno menelan ludah lagi. Di mata kebanyakan orang mungkin dia bagai laki-laki tangguh, namun tidak dihadapan tiga perempuan. Ibu, Aru, dan Yena. Jeno berubah menjadi laki-laki penuh kelembutan dan kehati-hatian.

"Aku buru-buru. Tadi Jay nelpon kalo dia mau pulang ke rumahnya-- jadi kupikir mungkin dia butuh teman."

Yena mengangguk sambil mengunyah permen karet di dalam mulut.

"Kamu... nunggu lama, ya?"

Yena mengangguk lagi.

"Kenapa nggak nelpon? Atau seenggaknya kamu bisa tinggalin tasku di kelas aja."

"Kalau itu aku, kamu juga bakal lakuin hal yang sama."

Perasaan Jeno menghangat. Kalau diingat-ingat, mungkin ini kali pertama mereka bicara sedekat itu sejak seminggu yang lalu. Tidak, mereka tidak bertengkar hingga harus menjaga jarak. Hubungan Jeno dan Yena memang seperti itu.

"Jen."

"Ya?"

"Kenapa nggak nanya sama gue soal Aru?"

"Maksudnya?"

"Lo pasti sudah tau kalo gue buat onar lagi di kelas adek lo."

"Aku nunggu kamu cerita sendiri."

Yena nampak tidak sabaran. Cewek itu terus bergerak di tempatnya, tidak mau berhenti, dan Jeno cukup hapal kalau Yena sedang khawatir.

"Aku nggak akan marah, Na."

"Kamu harusnya marah. Pacarmu baru aja ngaku kalo dia jadi pelaku bullying."

Jeno menggeleng pelan, nampak kontras kalau dia sedang menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya. Bertahun-tahun dia menjaga Jay yang suka menyakiti diri sendiri, Martin yang punya gangguan mental, dan Aru yang sulit mengungkapkan perasaan serta emosi.

Ketika Yena datang dan menarik atensinya, Jeno tahu kalau Yena sama seperti saudaranya yang lain : ingin lebih diperhatikan.

"Aku antar pulang."

Jeno sudah siap menarik pergelangan tangan Yena jika saja cewek itu tidak mundur hingga cekalan Jeno terlepas. Yena menatapnya sengit. Sebuah emosi yang tidak pernah bisa Jeno pahami menyala di matanya.

"Aku cuma mau kamu marahin aku, Jen!"

"Biar apa?"

"Kamu pacarku, jadi harusnya kamu marah, bentak, atau tegasin aku kalo yang kemarin kulakuin itu salah."

"Di saat kamu sadar kalau apa yang kamu lakuin salah?" Jeno mengeryit. "Aku selalu kasih kamu perhatian yang kamu mau, tapi nggak dengan yang ini. Yena, kita cuma anak umur delapan belas tahun yang harusnya nggak perlu terjebak dalam pertengkaran serumit ini."

From Home ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang