2.3

336 46 21
                                    

Festival musik hari ini harusnya jadi hari yang Aru tunggu-tunggu. Namun kini dia tidak bersemangat. Tidak ada senyuman lebar seperti milik Jian, kehebohan Mas Jeno mencari outfit yang keren, atau setidaknya sesenang Kak Martin yang akhirnya akan kembali manggung setelah sekian lama.

Aru bahkan masih diam di motor Jay saat seluruh orang sudah berada di depan panggung. Tadi dia bilang akan pergi ke toilet, namun langkah kakinya malah ke sana, ke parkiran motor yang sepi karena semua orang sudah memenuhi sekitar panggung. Aru pikir mungkin dia bisa pulang sebab kunci motor Jay ada padanya. Namun di satu sisi, dia tidak bisa, dia ingin melihat Martin dan Echan di atas panggung.

"WOAAAA MARTIINN!!"

Suara teriakan terdengar sampai parkiran. Aru tersenyum, pasti Martin sudah naik ke atas panggung. Kakaknya memang populer. Pantas saja banyak yang menunggu penampilannya.

Hampir setengah jam didera kebimbangan di sana, akhirnya Aru menghela napas, dia mengalah. Aru mengalah pada segala keegoisannya. Dia berjalan cepat menuju kerumunan itu. Melihat Martin, melihat Echan, atau bahkan.... setidaknya untuk sekali ini dia akan bersikap normal lagi seperti biasanya. Menikmati acara ini seperti yang lain.

Dia akan pulang setelah penampilan ini selesai.

Aru tidak mengenal siapapun di sana karena saudaranya yang lain berada di depan. Sudah tidak mungkin baginya menerobos ke sana. Jadi dengan sisa-sisa keberaniannya, Aru memilih untuk menikmati malam itu di barisan akhir. Tidak peduli apakah wajah Echan dan Martin terlalu kabur untuk ia lihat, Aru akan berdiri di sana hanya dengan mendengarkan suara mereka.

Senyuman keduanya mengundang kehebohan para perempuan di depan sana. Aru tersenyum, senang karena orang yang para perempuan itu puja adalah laki-laki yang ia kenal, laki-laki yang menyayanginya. Lantas kemudian, kehebohan itu redam oleh petikan gitar Martin. Suara Echan juga menyahut tak lama setelahnya. Apalagi ketika seorang gadis cantik naik ke atas panggung dan berdiri di sana, bersanding dengan kedua laki-laki itu.

Mereka nampak kontras pada awal malam ini. Sorakan demi sorakan terdengar, namun entah kenapa... Aru merasa telinganya berdengung. Dadanya sakit saat melihat Echan meraih tangan gadis itu untuk memberikan sebuah mic.

Melihatnya dari jarak sejauh ini.... Aru sadar, seperti lukisan yang kadang harus ia lihat dari jauh agar bisa ia pahami artinya, Echan juga sama.

"Jangan tanyakan perasaanku.. Jika kau pun tak bisa berdalih.."

Lagu ini. Aru tersenyum kecut, mungkin itu sebabnya Echan membawa gadis lain untuk ia jadikan teman menyanyi. Aru tidak tahu siapa gadis yang bersanding dengannya di atas sana, namun yang jelas itu cukup membuat Aru merasa jauh.

"Dari masa lalu yang menghantuimu... karena sungguh ini tidak adil.."

Aru tidak tahu apa yang sedang laki-laki itu cari, namun yang jelas ketika ia melihat Aru dalam jangkauan pandangnya yang terlalu jauh, Echan bergeming. Dia meihat ke arahnya. Lurus, namun pasti. Dari jarak sejauh itu mungkin Echan masih ragu apakah itu Aru, namun dari tempatnya bisa Aru pastikan ia telah menangis.

Menangisi apapun. Menangisi kehampaan yang telah ia bawa seorang diri. Menangisi keraguan yang telah ia sembunyikan selama ini.

Sudah hampir 7 tahun, bukankah ini waktunya ia pulih? Namun kenapa rasanya semakin sakit? Kenapa ia merasa ini semua sudah terlalu mustahil untuk diperbaiki?

Apanya? Bukannya kita sudah baik-baik aja?

"Bukan maksudku menyakitimu..
Namun tak mudah 'tuk melupakan..."

Mama.. Mama...

Aru menjambak rambitnya sendiri, mensugesti dirinya untuk berhenti berbicara. Mulutnya memang terkatup, tapi kepalanya terlalu berisik dan mengganggu.

From Home ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang