5. The Guy at The Club

75.5K 6.6K 124
                                    

Aku mengenal Agnes saat kuliah. Dia teman pertamaku sewaktu menginjakkan kaki di Fakultas Hukum UI. Pembawaan Agnes yang ceria dan ramah membuatnya mudah akrab dengan siapa saja. She took me under her wings, si cupu yang masih takut-takut sama kehidupan di Jakarta.

Persahabatan itu berlangsung sepanjang kuliah. Sejak Agnes menyapaku, persahabatan kami dimulai. Agnes menjadi saksi banyak momen penting di hidupku, termasuk soal David. Dia tahu banyak soal hubunganku dengan David, karena aku selalu bercerita kepadanya.

Agnes juga mempercayaiku, bahkan aku orang pertama yang menjadi tempatnya jujur soal orientasi seksualnya. Agnes sempat berjarak karena tidak ingin membuatku merasa kurang nyaman. Namun, berjauhan dengan Agnes adalah hal terakhir yang kubutuhkan. Aku menerima pilihannya, dan sampai sekarang, Agnes juga menghargai pilihanku.

Aku dan Agnes juga mengawali karier di firma hukum yang sama, tapi Agnes hanya bertahan satu tahun. Sewaktu liburan ke Paris, dia jatuh cinta dengan dunia kuliner. Agnes memutuskan berhenti bekerja di firma hukum dan mengambil sekolah pastry di Paris. Sepulangnya, Agnes menyulap halaman rumahnya menjadi cake shop cantik bernama Petit Paris.

Kalau saja ada hal lain yang membuatku jatuh cinta seperti halnya Agnes dan pastry, mungkin aku sudah meninggalkan dunia hukum sejak dulu. Dan, aku tidak perlu dipusingkan oleh tingkah klien yang makin lama makin absurd.

Satu lagi, aku mungkin tidak perlu kucing-kucingan dengan Ruly.

Semenjak hari itu, aku berusaha menghindar dari Ruly. Sepertinya semesta masih berpihak kepadaku karena Ruly jarang ada di ruangannya. Menurut cerita Lola, yang selalu bercerita soal Ruly tanpa diminta, Ruly lebih sering berada di lantai 45. Meski dia bukan partner, tapi suatu hari nanti firma hukum itu akan menjadi miliknya, sehingga dia pasti sudah mulai dipersiapkan untuk posisi itu.

"Nih, biar enggak ditekuk mulu mukanya." Agnes meletakkan piring kecil berisi eclairs di dekatku.

Aku menutup laptop dan tersenyum lebar menerima eclairs tersebut. "Thanks."

"Kasus apa lagi?"

Suasana Petit Paris lumayan sepi malam ini, sehingga Agnes memutuskan untuk menemaniku.

"Perceraian. Sampai sekarang gue cuma dikasih kasus beginian."

Agnes tertawa. "Enggak nyesel, kan, pindah ke situ?"

Aku menghela napas panjang. "Gimana, ya. Gue masih ngerasa kayak outcast, tapi buat pindah ke firma lain juga susah. Lagian, kasus perceraian kayak gini yang selalu datangin income yang banyak, dan komisinya gede, jadi ya ditahan-tahan aja."

Agnes menganggukkan kepalanya. "I never miss it, enggak pernah kebayang kalau gue tetap stay di firma hukum."

Banyak yang menyayangkan keputusan Agnes, termasuk keluarganya. Namun, Agnes tidak pernah membiarkan orang lain mendikte hidupnya. Ketegasannya itu selalu membuatku kagum, sekaligus iri, karena aku tidak pernah bisa setegas itu, bahkan untuk hidupku sendiri.

"By the way, kenal Yaya di mana?"

"Di sini. Dia sering ke sini."

Aku menyantap eclairs sambil melirik Agnes. Wajahnya memerah, membuatku ingin meledeknya.

"Sejak kapan lo flirting sama pelanggan lo?"

"Enak aja. Dia yang flirting duluan," elak Agnes.

"Terus?"

"I like her, surprise aja ketika dia blak-blakan kalau dia juga penyuka perempuan. Gayung bersambut," jelas Agnes.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang