39. Trapped

58.1K 6.4K 789
                                    

"Ruly, balik kantor enggak?" Aku langsung menyerbunya dengan pertanyaan ketika dia mengangkat teleponku.

"Miss me already?"

Aku hanya memutar bola mata meningkahi Ruly yang terkekeh di seberang sana. Sambil menjepit ponsel di antara telinga dan pundak, mataku sibuk membaca draft laporan yang tengah kupersiapkan untuk melanjutkan kasus Dianis.

Kalau saja aku memiliki kepercayaan diri yang lebih banyak dibanding ini, aku tidak akan menelepon Ruly. Masalahnya, aku butuh pendapat orang lain sebelum maju dengan draft ini, dan Ruly adalah orang yang tepat.

"Gue butuh konsultasi soal Dianis," seruku akhirnya.

"Hmmm ... enggak bisa menunggu besok?"

Alih-alih langsung menjawab, aku pun memutar otak membayangkan jadwalku besok. Kalau Ruly baru bisa mengeceknya besok, artinya aku harus bertemu dengannya pagi-pagi buta.

"Atau gue samperin lo aja, deh."

"I'm in my apartment right now. Lo bisa ke sini kalau mau," sahut Ruly.

Aku melirik jam yang ada di pojok kanan atas laptop. Sudah lewat pukul sembilan, sudah terlalu larut untuk mengunjungi Ruly. Namun, itu lebih baik dibanding mengunjunginya besok pagi.

"Oke, gue ke sana," putusku.

"Gue mau pesan pizza, ada request khusus?"

"Enggak perlu. Intermittent fasting." Aku menyahut sambil tertawa.

Di seberang sana, Ruly hanya mendecakkan lidah. Tanpa basa basi, aku menutup laptop dan menyambar blazer yang kusampirkan di punggung kursi, sebelum keluar dari ruanganku. Meski sudah lewat pukul sembilan, masih ada beberapa rekan kerjaku yang bertahan di balik meja untuk mempersiapkan kasus yang harus diselesaikan besok. Seperti inilah keadaan di firma hukum, seakan waktu bergerak dua kali lebih cepat sehingga membuat siapa pun terpacu untuk berlari lebih kencang jika tidak ingin ketinggalan atau ada yang mendahului. Satu menit yang terbuang untuk berleha-leha bisa menimbulkan dampak yang besar.

Bukan hanya kehidupan di firma hukum saja. Saat aku menyetir dari kantorku ke apartemen di Pakubuwono, jalanan yang masih dipadati kendaraan menyadarkanku bahwa kehidupan di kota ini tidak akan pernah berhenti barang sedetik. Semakin malam, denyut kehidupan itu masih terasa. Hanya wujudnya saja yang berbeda.

Ruly menyambutku di lobi apartemennya, dengan dua kotak pizza di tangannya. Dia masih mengenakan pakaian yang dikenakannya seharian tadi, menandakan bahwa dia pun masih terjebak dalam pekerjaannya sekalipun sudah berada di apartemennya yang nyaman.

Aku membuka pump shoes yang kupakai. Dingin lantai apartemen Ruly menyadarkanku atas nyeri yang kutahan selama ini akibat memakai sepatu tinggi itu. Siapa pun yang memulai image bahwa perempuan akan tampak lebih profesional saat memakai sepatu hak tinggi, rasanya dia perlu disuruh 24 jam berada di sepatu tersebut dan berlarian kian kemari tanpa istirahat.

Aku membuka blazer dan melemparnya ke sofa, sebelum menyusul Ruly ke meja makannya. Kotak pizza itu sudah terbuka, membuatku meneteskan air liur ingin mengambil satu slice. Namun, aku mengurungkan niat itu dan mengingatkan akan diet yang kulakukan.

Di atas meja makan itu, Ruly masih bekerja. Dengan laptopnya yang terbuka dan dokumen berserakan di atas meja.

"Beneran enggak mau makan?" tanya Ruly.

Aku menggeleng, meski aku yakin ekspresi wajahku malah berkata sebaliknya.

"Mana yang mau gue cek?" Ruly menyingkirkan laptop miliknya ketika aku menyerahkan laptopku. Sambil mengunyah pizza itu, dia membaca draft yang kutulis. Ekspresinya terlihat sangat serius, dengan kerutan di keningnya.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang