41. Drunk Call

56.8K 6.1K 815
                                    

Aku mendongak saat mendapati kursi di hadapanku ditempati seseorang. Mataku langsung bersirobok dengan David.

Saat masih menikah dengannya, mencuri waktu untuk makan siang bareng di kanting gedung pengadilan seperti ini sudah menjadi rutinitas di antara kami. Kadang, kalau ada sedikit waktu lowong, aku sengaja menghampiri David hanya untuk makan siang bareng.

Namun siang ini aku tidak ada niat untuk makan siang bareng. Tiba-tiba saja David muncul di hadapanku.

Dia tidak banyak berubah. Masih terlihat sama seperti David yang menjadi suamiku dulu. Harus kuakui kalau dia masih setampan dulu, ketika aku jatuh cinta untuk pertama kalinya, meski kini tidak ada lagi getaran rasa itu untuknya.

"So, Dianis?" tanya David, tanpa basa basi.

Aku hanya mengangguk kecil sambil menyantap makan siangku.

"Setelah Calista menang, kemungkinan kamu menang lagi untuk kasus ini jadi lebih besar." David kembali buka suara. "Serangan tanpa henti buat Pandu. Nice move."

Sekali lagi aku hanya membiarkan David berkomentar, dan fokus menyantap makan siangku. Soto ini terasa hambar, tapi aku sudah keburu malas untuk mencari makan siang di tempat lain sehingga terpaksa menelannya. Ditambah dengan kehadiran David, yang membuatku semakin kesulitan menyantap soto hambar ini.

"I'm just wondering, kamu kenapa?"

Dahiku berkerut. "Aku kenapa?"

Pertanyaan yang aneh. Aku baik-baik saja. Tidak ada yang salah denganku. Aku bahkan mengecek penampilanku, barangkali saja ada sesuatu yang tidak di tempatnya sehingga membuat David berkata seperti itu.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, David malah mengenalku. "Aku seperti enggak kenal kamu."

Ini semakin aneh. Aku meletakkan sendok, sama sekali sudah kehilangan minat untuk menghabiskan soto hambar itu.

"Bukan hanya sekarang. Sejak kamu tiba-tiba menawarkan diri menangani kasus Pak Sadewa, kamu berubah."

Kasus Pak Sadewa, salah satu kasus penting dalam hidupku yang juga membuat karierku jadi melesat cepat.

"Apanya yang berubah?"

David menyeruput minumannya. "Kamu jadi ambisius. Kayak pengin membuktikan diri, enggak tahu sama siapa."

Kerutan di keningku semakin dalam saat mendengar ucapannya. "Aku enggak mengerti."

David ikut meletakkan sendok di piringnya, lalu melipat tangannya untuk menatapku. "Kamu jadi melesat terlalu cepat. Setelah kamu menang, lalu dapat promosi, kamu jadi berubah. Aku serasa ditinggalin. Setiap pulang ke rumah, aku bahkan enggak kenal siapa yang menungguku di rumah."

Sudah lewat setahun sejak perceraianku dengan David, tapi baru kali ini dia bicara jujur seperti ini. Dulu aku selalu bertanya-tanya, tapi dia tidak pernah memberikan jawaban sehingga aku menyerah dan tidak lagi menginginkan jawaban itu.

"You left me."

"Lalu, kamu maunya apa? Aku enggak bermaksud buat ninggalin kamu. Kamu juga ditawari kasus Pak Sadewa, tapi kamu tolak. Aku sudah membujuk, tapi kamu keburu skeptis." Aku membalasnya.

David mengangkat bahu. "What's done is done. Kamu sudah pergi, dan aku masih begini."

Aku mengambil kopi yang sudah dingin dan meneguknya sampai habis. Ucapan David terdengar pasrah, tapi malah membuat darahku mendidih.

"Ini inti masalahnya. Kamu selalu menyalahkan keadaan dan orang lain, karena enggak bisa menerima kekalahanmu. Berapa kali kamu menyalahkanku? Kamu kalah di pengadilan, lalu kamu marah-marah sama aku. Semua hal yang bikin kamu marah, kamu lampiaskan ke orang lain." Aku berkata cepat. Badai emosi mendadak menguasaiku, seakan-akan bendungan yang selama ini kubuat untuk menampung emosi itu mendadak hancur dan tidak ada yang bisa menghalangiku untuk mengutarakan semua kegundahanku. Meksipun saat ini aku sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan David.

Partner with BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang